Sidang Dugaan Penipuan Rp800 Juta, Saksi Ahli: Ini Bukan Wanprestasi, Tapi Pidana

4 days ago 15

SUKABUMI — Sidang lanjutan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang menyeret seorang arsitek, Doddy Anwar Setiawan, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sukabumi, Kamis (3/7/2025). Sidang yang telah memasuki tahap ketujuh ini menghadirkan dua saksi ahli untuk menguatkan unsur pidana dalam perkara yang menimpa pengusaha restoran ternama di Kota Sukabumi, Evi H (50).

Evi mengaku mengalami kerugian hingga Rp810 juta dari proyek pembangunan rumah yang dipercayakan kepada terdakwa. Kontrak awal pembangunan disepakati senilai Rp1,8 miliar, namun berdasarkan hasil pemeriksaan ahli, progres pekerjaan baru mencapai 55 persen.

“Saya merasa puas dengan keterangan para saksi ahli hari ini. Mereka menguatkan bahwa kasus ini bukan wanprestasi, melainkan sudah masuk unsur penipuan dan penggelapan. Kerugian saya mencapai Rp810 juta dari kontrak yang sudah saya bayar lunas,” ujar Evi usai sidang.

Ia juga menyayangkan sikap terdakwa yang dinilainya belum menunjukkan rasa bersalah. “Sejak awal sidang, saya melihat terdakwa tidak merasa bersalah. Padahal, semua saksi dan bukti sudah sangat jelas. Saya harap hukum bisa ditegakkan seadil-adilnya,” tambahnya.

Sidang selanjutnya dijadwalkan digelar pekan depan dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Evi berharap proses hukum berjalan transparan dan memberikan keadilan bagi dirinya sebagai korban.

“Saya sudah serahkan semuanya ke hukum. Tapi saya juga ingin masyarakat tahu, berhati-hatilah dalam memilih mitra kerja. Apa yang saya alami ini sangat merugikan, baik secara finansial maupun psikologis,” ungkapnya.

Ahli di bidang Teknik Bangunan Gedung dan Manajemen Konstruksi, Sukarno Artama, menjelaskan metode analisis yang digunakan dalam mengevaluasi hasil pekerjaan terdakwa. Salah satu temuan mencolok adalah ketidaksesuaian ukuran galian tanah.

“Dalam kontrak tertulis 5×10 meter, tapi di lapangan hanya 5×8 meter. Itu jelas tidak sesuai,” ujarnya.

Setelah dilakukan perhitungan profesional, progres pembangunan hanya mencapai 55 persen, dengan nilai maksimal sekitar Rp1 miliar. “Ada selisih sekitar Rp800 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

Sementara itu, ahli hukum pidana sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Isman Samosir, menegaskan bahwa kasus ini memenuhi unsur tindak pidana penipuan.

“Jaksa sudah mengemukakan kronologinya. Korban dan terdakwa sepakat membangun rumah dengan nilai kontrak tertentu yang sudah dilunasi. Tapi kenyataannya pembangunan tidak selesai. Itu sudah masuk unsur kebohongan,” jelas Isman.

Ia menambahkan, kasus ini tidak bisa digiring ke ranah perdata seperti wanprestasi karena niat jahat (mens rea) sudah muncul sejak awal.

“Kalau wanprestasi, kebohongan muncul di belakang. Tapi dalam penipuan, kebohongan digunakan sejak awal untuk menipu orang agar menyerahkan sesuatu. Dalam hal ini, uang Rp1,8 miliar sudah diserahkan, padahal bangunan belum selesai. Itu bukan sekadar pelanggaran kontrak, itu tindak pidana,” tegasnya.

Isman juga menyoroti bahwa sisa dana sebesar Rp800 juta yang tidak digunakan untuk pembangunan merupakan bagian dari penggelapan.

“Ini bukan soal proyek molor. Ini soal niat jahat dan pelanggaran hukum,” pungkasnya.(bam/d)

Read Entire Article
Information | Sukabumi |