Kisah Dibalik ‎Perjalanan Betti Karliati Tanamkan Kesadaran Lingkungan

Dari Rasa Malu Kini jadi Gerakan Hijau di Sukabumi
‎
‎Oleh rasa malu, lahir sebuah gerakan. Bukan malu karena kekurangan, melainkan malu karena kepedulian.
‎
WIDI FITRIA, Sukabumi
‎
‎Itulah yang dirasakan Betti Karliati, seorang ibu dari empat anak, ketika melihat kondisi lingkungan Indonesia yang kian memprihatinkan akibat minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaganya.

‎“Lingkungan Indonesia ini bukan warisan, tapi titipan dari generasi yang akan datang,” tutur Betti dengan nada lirih namun tegas.

‎Kalimat itu menjadi prinsip hidupnya sejak ia memutuskan untuk bergerak aktif di bidang lingkungan. Ia mengaku sering merasa sedih dan malu melihat alam yang rusak, sementara kesadaran untuk menjaganya masih rendah.

‎Rasa malu itu kian menguat ketika suatu hari ia terlibat dalam kegiatan penghijauan yang dananya justru berasal dari Jepang. ‎“Kok orang Jepang saja peduli dengan lingkungan kita, masa kita yang tinggal di sini tidak peduli?” ucapnya mengenang.

Ia juga merasa pilu ketika penanaman pohon harus disertai kompensasi, bahkan tak jarang pohon yang sudah ditanam justru dicabut kembali. Dari situlah langkah panjang Betti dimulai. ‎Perjalanan Betti di dunia lingkungan sejatinya sudah dimulai sejak 2009, meski awalnya sekadar “ikut-ikutan”. Namun sejak 2010, langkahnya semakin mantap ketika ia aktif di SMAN 1 dan membentuk ekstrakurikuler lingkungan Youth Environmental Club (YEC).
‎

Sejak 2015, melalui tuntutan program Adiwiyata Mandiri yang mengharuskan adanya sekolah binaan, Betti mulai membangun kolaborasi lintas sekolah.
‎Awalnya hanya kewajiban, namun kembali rasa “malu” membuatnya bertahan. Masa hanya jalan saat ada program?,”katanya.  ‎Hingga kini, ia konsisten membersamai tujuh sekolah binaan, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA hingga SMK.

‎Upaya penghijauan pun dilakukan secara berkelanjutan. Sejak tahun 2022 hingga 8 November 2025, bersama sekolah-sekolah dan masyarakat di jalur Lingkar Selatan, sekitar 700 pohon telah ditanam. Di sekolah masing-masing, kegiatan lingkungan terus digerakkan melalui PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup).

‎Bahkan dalam kondisi hamil, semangatnya tak surut. Saat hamil enam bulan, Betti diamanahi melaksanakan program penghijauan di Kadudampit dari dana CSR perusahaan travel. Di usia kehamilan tujuh bulan, ia masih terjun langsung melakukan penghijauan di jalur lain. Baginya, menjaga lingkungan adalah tanggung jawab yang tak mengenal alasan.

‎Betti kerap mengingatkan bahwa satu pohon dapat menghasilkan oksigen bagi dua hingga empat orang, tergantung jenis dan kondisinya.‎ “Dengan menanam pohon, kita bersedekah oksigen yang pahalanya terus mengalir selama pohon itu hidup. Kita yang butuh,” ujarnya.

‎Namun baginya, menanam pohon saja tidak cukup. Kesadaran harus dibangun. Karena itu, ia juga aktif mengedukasi soal pemilahan sampah, pengolahan sampah menjadi barang bernilai, pembuatan kompos, lubang biopori, menanam sayuran, hingga ecoprint. ‎Salah satu upaya yang kini menjadi ciri khasnya adalah ecoprint, sebuah teknik ramah lingkungan yang memanfaatkan daun, bunga, dan batang sebagai motif alami pada kain berbahan serat alam, dengan pewarna dari bahan alami seperti tingi, tegeran, dan manjakani.

‎Ecoprint bukan sekadar produk, melainkan media edukasi. Melalui kegiatan ini, siswa belajar menanam, merawat, dan memanfaatkan alam secara bijak. Bahkan, siswa kelas 12 SMAN 1 pernah memproduksi kain ecoprint yang dipersembahkan pada Hari Guru Nasional.‎ Dari situ tumbuh kebanggaan dan kesadaran bahwa lingkungan yang dijaga bisa menghasilkan karya bernilai estetika dan ekonomi.

‎“Anak-anak jadi sadar, tanaman itu harus dirawat karena ternyata bermanfaat dan punya nilai jual,” jelasnya.

‎Kini, Betti juga rutin mengisi pelatihan ecoprint di sekolah-sekolah, membuat totebag, taplak, hingga kain.

‎Dedikasinya mengantarkan Betti meraih predikat Guru Inspiratif kategori Pemerhati Pendidikan Lingkungan dan Berkelanjutan tingkat Jawa Barat.
‎Namun baginya, penghargaan bukan tujuan akhir. Ia berharap dari pengakuan itu, terbuka lebih banyak kesempatan menjadi pemateri dan memperoleh dukungan CSR untuk kembali menanam pohon.

‎“Tujuan utamanya menyebarkan lebih banyak kebaikan. Baik yang fisik berupa pohon, maupun nonfisik berupa kesadaran,” katanya penuh harap.

‎Ia pun mengajak semua pihak, terutama lingkungan sekolah, untuk bergerak bersama.  ‎“Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal kecil yang konsisten dilakukan, mulai dari saat ini,” pesannya.

‎Karena baginya, lingkungan bukan sekadar tempat tinggal, melainkan amanah bersama. “Karena lingkunganku, tanggung jawabku,” pungkasnya.(*)