Mendadak Menteri

21 hours ago 9

Di saat euforia tumbangnya pemerintahan Basyar Al Assad, Duta Besar Indonesia di Suriah, Wajid Fauzi didesak: Mendadak Menteri mengapa tidak segera bikin pernyataan pengakuan terhadap pemerintah baru. Kesannya: seolah Indonesia pro Assad dan anti Ash-Sharaa.

“Kalau kita bikin pengakuan, itu melampaui batas. Yang kita akui adalah negara Suriah. Siapa pun pemerintahnya,” ujar Wajid.

Buktinya: Wajid tidak memiliki hambatan apa pun dalam berhubungan dengan pemerintah baru. Wajid termasuk sangat cepat bisa diterima presiden baru Ash Sharaa.

Misi pemulangan tenaga kerja Indonesia di sana pun lancar. Bahwa masih ada warga Indonesia yang pernah ikut berjuang bersama pemberontak –kini disebut pejuang– tidak menimbulkan konflik antar pemerintah.

Saya sendiri menjadi saksi hubungan baik itu. Kedatangan saya ke Syria sangat mendadak. Tapi di hari kedua saya sudah bisa menghadap seorang menteri di sana. Bukan sembarang menteri pula. Ia menteri energi: Mohamed Al Bashir.

Mustahal pertemuan itu terjadi kalau duta besar Wajid tidak punya hubungan baik dengan pemerintah baru. Bashir bukan menteri biasa. Ia menteri sekaligus orang kuat. Saat Presiden Assad tumbang, Bashir-lah yang tampil menjadi perdana menteri pertama.

Tugas Bashir waktu itu: menyusun pemerintahan baru. Termasuk menggalang kekuatan politik agar Syria bisa mendapat presiden yang baru. Berkat kehebatannya semua kelompok pejuang sepakat: memilih Ash Sharaa sebagai presiden pertama. Status Ash Sharaa memang masih presiden sementara. Tapi kekuasaannya penuh.

Kata ”sementara” di situ pun sampai berhasil dilaksanakannya pemilu. Itu tidak mudah. Apalagi keadaan ekonomi dan masyarakat sudah berantakan. Perang sipil di sana terlalu lama: 14 tahun.

Kalau pemilu diadakan dalam keadaan seperti itu hanya akan membuka luka-luka lama. Perang sipil bisa kembali terjadi.

Maka kata ”sementara” itu kelihatannya akan lima tahun. Pemulihan ekonomi menjadi prioritas. Dan masyarakat terlihat puas. Anda sudah tahu: Ash-Sharaa begitu dielukan saat ia ke Amerika –pidato di PBB. Masyarakat Syria di New York mendemonya: demo kegembiraan.

Apalagi di dalam negeri. Gaji pegawai negeri dinaikkan lima kali lipat. Dari USD30 ke USD150. Bantuan negara sekitar juga mengalir deras. Termasuk dari Turkiye.

Arab Saudi membantu minyak mentah sampai sebanyak 1,6 juta barrel. Itu sama dengan seluruh produksi minyak Indonesia selama tiga tahun.

Dengan bantuan minyak mentah itu kilang Syria bisa hidup lagi: bisa produksi BBM sendiri. Sambil menunggu direhabilitasinya sumur-sumur minyak di dalam negeri.

Mendadak Menteri

Selama rezim Assad produksi minyak Syria terus menurun. Termasuk akibat sanksi Amerika atas Syria. Bisnis minyak selama itu dikuasai oleh kroni Assad. Tidak ada investasi baru agar produksi minyak lebih banyak.

Tidak semua sumur minyak dikuasai pemerintah. Yang berada di daerah pemberontak dikuasai para pejuang. Hasil minyaknya dijual secara gelap. Uangnya sepenuhnya untuk biaya pemberontakan menumbangkan Assad.

Pembeli minyak mentah dari pemberontak itu adalah para pedagang minyak. Pedagang adalah manusia siluman paling siluman. Hanya pedagang yang bisa baik dengan pemberontak sekaligus baik dengan yang diberontak.

Pedagang itulah yang lantas menjual minyak hasil dari sumur di wilayah pemberontak ke kilang milik pemerintah Assad. Pemerintah mendapat uang dari mengolah minyak asal pemberontak –dipakai biaya menghancurkan pemberontak. Pemberontak dapat uang dari kilang pemerintah untuk biaya menumbangkan pemerintah.

Menteri Energi Bashir asalnya juga pemberontak. Bahkan ia adalah salah satu pimpinan besarnya. Saat Presiden Assad masih berkuasa pun Bashir sudah menjabat gubernur Aleppo. Tentu Assad tidak mengakuinya tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sini saja sudah bisa dilihat: betapa rapuh kekuasaan Assad di luar Damaskus. Provinsi Aleppo sepenuhnya dikuasai pemberontak –sampai pun pemerintahan daerahnya.

Jiwa kenegarawanan Bashir luar biasa. Ia seperti Abdul Harris Nasution pasca tumbangnya Bung Karno. Nasution sangat mungkin tampil sebagai presiden pengganti Bung Karno. Tapi Nasution tidak mau.

Pun Bashir. Ia memilih Ash-Sharaa sebagai presiden. Begitu Ash Sharaa terpilih Bashir justru menyatakan berhenti sebagai perdana menteri. Bahkan menghapus jabatan perdana menteri. Maka tidak akan ada matahari kembar di pemerintahan baru.

Bashir pilih ”hanya” jadi menteri. Bulan lalu ia bubarkan Kementerian Listrik, Kementerian Gas Minyak Bumi dan Kementerian Sumber Daya Air. Tiga kementerian itu ia lebur jadi satu: menjadi kementerian energi.

Meski sangat mendadak saya bisa bertemu beliau. Diantar oleh Duta Besar Wajid Fauzi. Menteri Bashir orangnya berwibawa. Dahinya lebar sampai hampir ke ubun-ubun. Tatapan matanya sangat tajam dan cendekia. Bicaranya to the point –gaya kesukaan saya.

Gedung kementerian itu di atas bukit tinggi. Sebagian kota Damaskus memang pegunungan. Dataran rendahnya sendiri sudah 600 meter di atas permukaan laut.

Gedungnya tinggi –sekitar 12 lantai. Itu bekas gedung perusahaan minyak negara. Lobi kantornya sederhana. Tidak ada penjagaan tentara. Di luar maupun di dalam gedung. Bahkan rombongan Pak dubes dan saya ini tidak perlu melewati pintu detektor. Padahal Gus Najih membawa ransel. Itu menandakan begitu percayanya pemerintah baru Syria pada Indonesia.

Saya sendiri tidak menyangka bisa menghadap menteri penting begitu mendadak. Tidak mungkin seorang duta besar bisa mendadak membuat janji seperti itu –tanpa hubungan yang sangat baik.

Padahal saya telanjur tidak membawa baju berkerah. Pakaian yang saya bawa hanya kaus panjang, kaus pendek, dan kaus dalam.

“Pak dubes, bolehkah saya pinjam baju batik bapak?” pinta saya sebelum berangkat ke Kementerian Energi.

“Tentu dengan senang hati,” katanya. “Kami siapkan tiga pilihan. Kebetulan ukuran kita kelihatannya sama,” tambah Dubes Wajid.

Pulang dari kementerian, saya berniat mengembalikan baju itu. Begitu melihat mimik saya Pak dubes sudah bicara duluan. “Nggak usah dikembalikan. Cocok sekali kok,” katanya.

Saya tersipu. Dalam hati senang juga dapat baju gratisan. Tapi ada pesan sponsor: saya harus memakainya sekali lagi keesokan harinya. Yakni saat diajak pertemuan dengan pengurus Kadin Syria –di sana hanya disebut Kamar Industri, tanpa dagang. Itu menandakan betapa pentingnya industrialisasi.

Tidak hanya sekali lagi. Hari ketiga batik itu saya pakai lagi ke Lebanon: saya harus mendadak tampil di satu forum ekonomi yang diadakan Duta Besar Lebanon yang baru: Dicky Komar.

Maka dua hari itu saya tidak perlu cuci kaus. Baru kali ini saya merasakan betapa saktinya batik –tipis tapi sudah dianggap resmi.

Rasanya akan ada perusuh Disway yang menilai saya lebih ganteng pakai batik pinjaman daripada batik milik saya sendiri. (Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Information | Sukabumi |