Bayar utang Whoosh berat? Itu, antara lain, karena ekonomi kita tidak tumbuh secepat seharusnya. Ini lebih dari boneka: berani bikin proyek besar tidak berani menumbuhkan ekonomi yang seimbang.
Ketika proyek Whoosh diinginkan oleh Presiden Jokowi, pendapatan per kapita rakyat Indonesia USD5.000. Ia belum lama menggantikan Presiden SBY.
Harusnya, 10 tahun kemudian, ketika proyek kereta cepat itu selesai, pendapatan perkapita rakyat kita mencapai USD12.000.
Nyatanya tidak.
Selama 10 tahun kita berjalan di tempat.
Bahkan turun ke USD4.800.
Di parameter itu kita tidak mengalami kemajuan apa-apa. Bahkan mundur. Kita seperti kehilangan waktu 10 tahun.
Kalau saja pendapatan per kapita itu bisa USD12.000, Whoosh tidak akan terlihat sebagai proyek yang membebani.
Misalkan, tiket Whoosh bisa dibuat Rp 1 juta/kursi. Maka Whoosh bisa membayar sendiri cicilan dan bunganya.
Harga tiket Rp 1 juta itu enteng bila pendapatan perkapita rakyat kita mencapai 12.000 dolar. Dan itulah seharusnya yang harus terjadi. Selama 10 tahun harusnya kita bisa meningkatkan yang 5.000 dolar itu ke 12.000 dolar. Kan ada bonus demografi.
Nyatanya pendapatan perkapita rakyat sama sekali tidak naik. Maka Whoosh tidak bisa mengenakan harga tiket Rp 1 juta. Separohnya pun tidak berani. Sudah terasa terlalu mahal.
Jokowi dalam sebuah momen foto di depan kereta cepat Whoosh, 19 September 2023.-Setpres-Setpres
Bonus demografi pun berlalu seperti tanpa guna. Akibatnya Indonesia mulai masuk ke dalam “jebakan” pendapatan kelas menengah.
Hukumnya: barang siapa masuk ke dalam “jebakan” pendapatan kelas menengah negara itu tidak akan bisa menjadi negara maju.
Itulah yang dipikirkan oleh Presiden Prabowo –seperti terlihat lewat Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Yakni bagaimana meningkatkan ekonomi agar tumbuh delapan persen.
Padahal dengan delapan persen pun belum cukup. Nilai ketinggalan perkapita selama 11 tahun terakhir mencapai USD7.000. Sangatlah tinggi. Nilai ketinggalan itu belum bisa dikejar dengan tumbuh delapan persen. Harus tumbuh 12 persen setahun.
Berarti kita harus bekerja lebih keras. Memakai uang negara lebih terarah. Lebih produktif.
Jelaslah: dalam hidup ini ambisi saja tidak cukup. Populer saja tidak ada manfaatnya. Kerja keras saja hanya banting-banting tulang.
Nasi sudah menjadi bubur yang basi.
Kini mengeluhkan semua itu tidak ada lagi gunanya. Whoosh sudah tidak bisa dibatalkan. Satu-satunya jalan: ekonomi harus tumbuh tinggi.
Perubahan itulah yang sedang dan akan dicoba Presiden Prabowo. Namanya dicoba. Bisa berhasil. Bisa gagal.
Yang penting jangan sampai seperti Garuda Indonesia. Irfan, dirut lama yang berhasil membawa Garuda keluar dari kebangkrutan itu diganti. Irfan diganti Wamildan Tsani. Ups … dua hari lalu dirut baru itu pun diganti lagi. Begitu singkat. Saya sampai belum hafal nama yang diganti itu. Untuk menuliskan namanya saja saya harus bertanya ke pramugari. Kebetulan saat menulis ini saya dalam penerbangan Garuda dari Shanghai ke Jakarta.
Begitu seringnya ganti pejabat. Kesannya seperti coba-coba.
Tapi ada kabar baiknya: Wamildan adalah orangnya Prabowo. Berarti Prabowo tidak segan mengganti temannya sendiri –meski penggantinya juga sesama temannya sendiri di purnawirawan TNI.
Setidaknya Garuda masih bisa terbang. Utang Whoosh kurang lebih mirip utang lama Garuda. Lama-lama Whoosh akan menemukan jalan keluarnya juga.(Dahlan Iskan)
Halaman: 1 2