Yalal Batubara

6 hours ago 3

Nahdlatul Ulama (NU) harusnya seperti yang digambarkan dalam teori antifragility: Yalal Batubara ketika terjadi tekanan akibat sebuah kemelut ia justru akan kuat. Ini kebalikan dari teori fragility: kena tekanan berantakan.

Maka siapa tahu heboh pemecatan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhir-akhir ini justru melahirkan jalan baru bagi NU: jalan keterbukaan yang modern.

Bukankah banyak kemajuan yang justru diraih lewat turbulensi. Bukankah matinya Nokia melahirkan smartphone. Dan bencana Covid-19 mempercepat digitalisasi.

Anda sudah tahu: banyak yang bilang persoalan turbulensi di NU berlatar belakang sejak NU punya tambang batubara.

NU kini memang punya tambang batubara. Di Kutai Timur. Tidak jauh dari Bontang. Di sebagian bekas konsesi grup Bakrie. Kualitas tambangnya kelas satu.

Luas tambang itu 25.000 hektare. Isinya: satu miliar ton batubara –kualitas tinggi. Hitung sendiri berapa puluh triliun rupiah nilainya.

Persoalannya: siapa partner yang akan digandeng untuk mengelolanya. Mengelola tambang tidak mudah. Kitab kuning tidak mengajarkannya. Segala macam permainan kotor ada di bisnis batubara. Ada humor terkenal di kalangan itu: “dari 10 pedagang batubara, yang biasa menipu 12”.

Maka banyak pemilik tambang yang pilih terima beres. Terima bersih: setiap satu ton batubara yang diambil dari lahannya dapat berapa dolar. Selebihnya jadi bagian pengelola. Termasuk risikonya.

Medsos sudah menyebut: sebagian pengurus NU minta yang mengelola tambang itu perusahaan tambang besar yang punya hubungan baik dengan presiden lama. Bukankah tambang itu didapat saat yang lama itu masih menjabat presiden. Jangan sampai NU dibilang kacang lupa kulitnya.

Sebagian pengurus lagi ingin tambang itu dikelola perusahaan yang dekat dengan presiden baru. Atau dekat dengan pemerintah yang sekarang. Kenapa? Urusan tambang itu tidak bisa lepas dari pemerintah. Untuk bisa menambang izinnya banyak. Juga harus secara rutin diurus. Tiap tahun harus mengajukan rencana penambangan. Harus ada persetujuan pemerintah.

Yalal Batubara

Ilustrasi konflik di internal Nahdlatul Ulama (NU).–

Bagaimana solusinya?

Mudah sekali. Bukan saja mudah. Solusi ini justru membuat NU ”naik kelas”. NU akan menjadi organisasi yang modern dan mengajak modern. Sekaligus menjunjung tinggi akhlak dalam berbisnis. NU akan menjadi contoh keterbukaan.

Solusinya: “Tenderkan!”

Beres. Tidak peduli siapa yang akan memenangkan tender itu nanti. Kalau pun yang menang perusahaan yang dekat penguasa lama bukan berarti NU itu kacang, penguasa lama itu kulit.

Begitu pula kalau yang menang adalah pengusaha yang dekat dengan pemerintah baru, ya memang sudah takdirnya. Pun kalau yang menang bukan dua-duanya.

NU tinggal menunjuk konsultan untuk menyusun ”tata tertib” tender. Termasuk menentukan harga dasar yang akan diperoleh NU: dapat berapa dolar per ton batubaranya. Setelah itu tinggal laksanakan tender terbuka. Kalau perlu panitia tendernya dari universitas Katolik terkemuka.

Fitnah tidak akan hilang. Terutama kenapa orang-orang itu yang diangkat menjadi panitia lelang. Yang jadi panitia tender pun akan penuh fitnah: memihak siapa.

Kalau saja solusi tender ini dipakai maka NU masuk ke dunia profesional dalam mengurus bisnis. Kalau tidak ada kepentingan pribadi di dalamnya pastilah pilih ditenderkan saja. NU justru akan dapat hasil lebih besar.

Tentu juga tergantung harga batu baru di pasar internasional.

Sambil menunggu tender itu sekalian dilakukan persiapan di internal NU. Akan dikemanakan uang triliuanan rupiah setiap tahunnya itu. Saya dengar NU lagi menyiapkan koperasi Yalal Wathon. Yang akan menyentuh sampai lapisan terbawah warga NU di ranting-ranting.

Itu pekerjaan besar. Pekerjaan teknokratis. Akan seperti apa koperasi itu nanti. Masih terlalu awal untuk dibahas di sini.

Maka saya akan melihat apakah teori Nassim Nicholas Taleb yang disebut antifragility akan berlaku di NU: yakni turbulensi ini justru akan membuat kemajuan di NU.(Dahlan Iskan)

Halaman: 1 2

Read Entire Article
Information | Sukabumi |