Fimela.com, Jakarta Pemerintah sedang mempertimbangkan kebijakan baru yang cukup kontroversial: pasien yang menggunakan asuransi kesehatan swasta diwajibkan menanggung 10% dari total biaya perawatannya. Usulan ini muncul sebagai bagian dari upaya pembenahan sistem kesehatan dan pembagian beban biaya antara penyedia layanan, asuransi, dan pasien. Namun, kebijakan ini menuai beragam respons dari masyarakat, tenaga medis, hingga pelaku industri asuransi.
Seperti yang dikutip dari Liputan6.com Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap skema pembagian risiko atau co-payment untuk produk asuransi kesehatan akan menurunkan premi.
Adapun penerapan skema co-payment ini dengan pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit menanggung sebesar 10% dari total pengajuan klaim asuransi tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaran Produk Asuransi Kesehatan.
Apa Alasan di Balik Usulan Ini?
Salah satu alasan utama di balik usulan ini adalah untuk mengurangi beban pembiayaan pada sistem asuransi dan rumah sakit. Dalam beberapa tahun terakhir, biaya layanan kesehatan melonjak tajam, terutama untuk pasien yang memanfaatkan asuransi swasta. Pemerintah dan penyedia layanan berharap kontribusi langsung dari pasien sebesar 10% dapat menekan praktik over-utilization, yaitu penggunaan layanan medis secara berlebihan karena semua biaya ditanggung asuransi.
Penerapan skema co-payment (berbagi biaya) dianggap bisa meningkatkan kesadaran pasien terhadap biaya medis dan mendorong mereka lebih bijak dalam menggunakan layanan kesehatan. Selain itu, kebijakan ini dapat mengurangi moral hazard—yakni situasi di mana pasien tidak mempertimbangkan biaya karena tahu akan ditanggung penuh oleh pihak ketiga.
Masih menurut kutipan dari liputan6.com ada sejumlah faktor yang mendorong OJK menerbitkan SE Nomor 7 Tahun 2025. Salah satunya inflasi medis di Indonesia yang lebih tinggi dari inflasi secara umum. Berdasarkan data OJK, inflasi medis di Indonesia mencapai 9,4 persen pada 2023 dan 10,1 persen pada 2024. Inflasi medis ini akan meningkat pada 2025 menjadi 13,6 persen. Sedangkan di global, inflasi kesehatan tercatat 6,5 persen pada 2024, dan diprediksi naik jadi 7,2 persen pada 2025.
"Medical inflasi di Indonesia jauh lebih tinggi dari inflasi secara umum. 2024 sebesar 10,1 persen. 2025 diperkirakan 13,6 persen. Secara natural cost untuk kesehatan akan meningkat,” Ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono.
Reaksi Masyarakat dan Pelaku Industri
Usulan ini tentu tidak lepas dari pro dan kontra. Di satu sisi, ada yang menilai ini sebagai langkah logis demi keberlanjutan sistem. Namun di sisi lain, masyarakat pengguna asuransi swasta merasa dirugikan karena mereka sudah membayar premi tinggi untuk mendapatkan jaminan layanan penuh.
Sementara itu, asosiasi rumah sakit menyambut baik ide ini, selama penerapannya dilakukan secara transparan dan tidak memberatkan kelompok masyarakat tertentu. Pihak asuransi juga mengkhawatirkan potensi kehilangan nasabah jika beban biaya tambahan ini tidak disertai dengan peningkatan kualitas layanan.
Kenali Tentang Pengertian Skema Co-Payment
Sahabat Fimela, seperti yang disebutkan di atas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan asuransi kesehatan menerapkan pembagian risiko (co-payment) di mana pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling sedikit menanggung sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim asuransi.
Hal ini tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang diteken Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono.
Skema co-payment dalam asuransi kesehatan adalah mekanisme pembagian biaya antara peserta asuransi atau sering disebut pemegang polis dan perusahaan asuransi atas layanan medis yang digunakan. Dalam skema ini, peserta diwajibkan membayar sebagian dari total biaya layanan kesehatan, sementara sisanya ditanggung oleh pihak asuransi.
Sederhananya, jika biaya rawat jalan sebesar Rp 2 juta dan polis asuransi menetapkan co-payment 10%, maka:
- Peserta membayar Rp 200.000 (10%)
- Asuransi membayar sisanya Rp 1.800.000 (90%)
Pemerintah berharap dengan penerapan Co-payment dapat mencegah moral hazard, yaitu penggunaan layanan medis secara berlebihan karena semua ditanggung asuransi. Serta mendorong efisiensi agar peserta hanya menggunakan layanan yang benar-benar diperlukan.
Tantangan dalam Implementasi
Penerapan kebijakan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada mekanisme yang jelas tentang bagaimana 10% biaya ini dihitung, apakah berdasarkan tagihan total, jenis layanan, atau kelas perawatan. Selain itu, pemerintah perlu memastikan tidak terjadi diskriminasi layanan antara pasien asuransi swasta dan non-swasta.
Aspek perlindungan konsumen juga menjadi hal penting. Dalam beberapa kasus, pasien bisa terjebak dalam informasi yang tidak transparan soal besaran biaya tambahan, apalagi bila rumah sakit atau pihak asuransi tidak menjelaskan dengan rinci sejak awal.
Jadi, bagaimana menurutmu Sahabat Fimela?
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.