JAKARTA – Di tengah meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pengelolaan aset tanah, layanan pemecahan bidang tanah kini menjadi salah satu pelayanan paling banyak diajukan di berbagai Kantor Pertanahan di Indonesia.
Dari pembagian warisan, transaksi jual-beli sebagian tanah, hingga pengembangan kawasan perumahan—semuanya berujung pada kebutuhan untuk memecah sertipikat tanah menjadi beberapa bagian baru yang sah secara hukum.
Namun, di balik proses yang tampak sederhana, pemecahan bidang tanah sejatinya merupakan urusan administratif dan hukum yang cukup kompleks. Setiap langkahnya diatur secara rinci agar kepemilikan lahan tetap memiliki kepastian hukum dan tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari.
Dikutip Radar Sukabumi pada halaman resmi website Kementerian ATR/BPN, bahwa Sekretaris Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Shamy Ardian, menjelaskan bahwa pemecahan bidang tanah adalah proses membagi satu bidang tanah bersertipikat menjadi beberapa bidang baru dengan sertipikat masing-masing.
“Setelah pemecahan dilakukan, sertipikat induk menjadi tidak berlaku lagi. Masing-masing bidang baru akan memiliki sertipikat sendiri dengan status hukum yang sama seperti tanah asalnya,” ujar Shamy di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Proses ini hanya dapat dilakukan atas permintaan pemegang hak yang sah. Kantor Pertanahan akan melakukan pengukuran ulang untuk menentukan batas bidang baru, kemudian menerbitkan surat ukur, buku tanah, dan sertipikat baru sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Masyarakat yang hendak melakukan pemecahan bidang tanah wajib menyiapkan sejumlah dokumen. Di antaranya, sertipikat asli tanah (SHM/SHGB), fotokopi KTP dan Kartu Keluarga pemilik, surat permohonan pemecahan, SPPT Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir, bukti lunas pembayaran PBB, rencana tapak (site plan) dari pemerintah daerah (bagi pengembang)
Sementara, jika tanah tersebut merupakan warisan, pemohon juga harus melampirkan akta waris atau surat keterangan waris serta surat kematian pemilik sebelumnya. Setelah berkas lengkap, petugas Kantor Pertanahan akan melakukan pengukuran lapangan dan memproses pembuatan sertipikat baru sesuai pembagian yang diminta.
Tujuan utama dari pemecahan bidang tanah adalah menciptakan kepastian hukum atas kepemilikan tanah. Setiap bidang baru akan tercatat dalam sistem pendaftaran nasional dan mendapatkan buku tanah serta peta bidang yang terintegrasi.
Namun demikian, Kementerian ATR/BPN menegaskan bahwa tidak semua jenis tanah dapat dipecah. Sesuai Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2021 Pasal 42 ayat (3), pemecahan dilarang dilakukan pada tanah ulayat masyarakat hukum adat atas nama perseorangan. Larangan ini diberlakukan untuk melindungi hak kolektif masyarakat adat agar tidak terpecah menjadi kepemilikan pribadi.
Kementerian ATR/BPN juga berupaya mempercepat proses layanan pertanahan melalui digitalisasi. Sejumlah Kantor Pertanahan di berbagai daerah telah menerapkan sistem antrean elektronik, pelacakan berkas daring, hingga pendaftaran layanan melalui aplikasi resmi. Harapannya, masyarakat dapat mengajukan pemecahan bidang tanah dengan lebih mudah, cepat, dan transparan.
“Kami ingin memastikan setiap proses, mulai dari permohonan hingga penerbitan sertipikat baru, dilakukan dengan prinsip akuntabilitas dan kepastian hukum,” tegas Shamy. (Den)