Tanpa Korlap

14 hours ago 6

Demo di masa lalu bisa dilihat: organisasi apa yang menggerakkan. Tanpa Korlap Siapa pemimpinnya. Siapa pula koordinator lapangan –korlapnya.

Coba lihat yang sekarang: lembaga apa yang ada di balik pembakaran berbagai DPRD dan kantor-kantor polisi. Siapa pemimpin mereka. Tidak ada!

Ada yang tahu tapi harus dibuat seolah tidak ada yang tahu. Inilah demo besar tanpa tahu lembaga apa yang menggerakkan dan siapa pemimpin sentralnya.

Bukan mahasiswa.

Bukan buruh.

Bukan LSM.

Komandan demo ini tunggal: medsos.

Undangan-undangan demo beredar lewat medsos. Lewat seruan. Tanpa menyebut siapa yang mengeluarkan seruan itu. Ditelan begitu saja.

Yang membaca seruan tidak mengecek dari siapa seruan itu. Yang membacanya mungkin langsung merasa cocok saja –tergerak ikut demo. Mereka berkumpul di titik yang sudah ditentukan. Dari situ mereka bergerak ke sasaran.

Saya minta ke seseorang untuk mengirim contoh seruan yang beredar di medsos. Ia pun kirim. Betul. Tanpa identitas apa pun. Judulnya besar, warna hurufnya merah: SERUAN AKSI. Judul lebih kecil di bawahnya ditulis dengan huruf putih: Lawan Pengkhianat Rakyat!

Isi seruan: mengajak seluruh elemen, mahasiswa, buruh, miskin kota, tani, rakyat tertindas, dan seluruh elemen sipil lainnya untuk tumpah ruah ke jalan pada: xxxx (disebut hari, tanggal dan jam). Titik kumpul: xxxxx (disebut nama tempatnya).

“Mari rapatkan barisan. Mari kita kepung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah xxxx,” begitu bunyi seruan.

Di bagian paling bawah ditulis nama-nama tagar yang masuk aliansi: #TolakRKUHAP#IndonesiaSoldout#DaruratPendidikan#PejabatberjogetRakyatmenjerit#TolakUUTNI#ReformasiPolri#LawanPengkhianatRakyat#LawanPembunuhRakyat.

Kebetulan contoh seruan yang dikirim ke saya itu untuk demo tanggal 1 September hari ini. Di satu ibu kota provinsi di luar Jawa.

Ketika menerima seruan seperti itu hati mereka tergerak. Mereka merasa senasib dengan dengan isi seruan.

Tanpa Korlap

Ilustrasi media sosial kini menjadi “korlap” demo.-Dibuat dengan AI-

Di zaman ini, kini, siapa saja bisa bikin seruan seperti itu. Si pembuat tahu: kejengkelan umum sudah seperti hamil tua. Maka komentar beberapa anggota DPR di seputar tunjangan kos anggota DPR jadi umpan yang lezat. Rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, Nafa Urbach pun diserbu. Dirusak. Dijarah. Pun rumah Menkeu Sri Mulyani. Para pendemo juga ke rumah Ketua DPR Puan Maharani tapi gagal masuk pekarangan.

Alamat rumah-rumah anggota DPR beredar di medsos. Jam tangan mahal apa saja yang mereka miliki juga di-posting di medsos. Sekalian dengan harganya: ada yang sampai delapan miliar rupiah –satu alroji.

Di Surabaya agak aneh sendiri: sasarannya Gedung Grahadi, ”istana” Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Bukan DPRD.

“Kenapa di Jatim sasarannya gubernur?” tanya saya ke seorang aktivis terkemuka.

“Tanya ke Muhammad Sholeh. Ia yang tahu,” jawabnya.

Sholeh adalah aktivis kawakan Surabaya. Ia tokoh PRD –di akhir kekuasaan Presiden Soeharto: Partai Rakyat Demokratik. Sholeh lantas jadi pengacara. Sambil tetap merangkap sebagai aktivis.

“Cak Sholeh, di tempat lain sasarannya kan DPRD. Kenapa di Jatim sasarannya gubernur?”

“Di Jatim terasa aneh Pak. Tapi jawabnya sebenarnya sederhana. Gubernur menolak tuntutan warga soal pembebasan tunggakan pajak kendaraan sepeda motor,” ujar Sholeh.

Tuntutan itu memang ramai disuarakan di Jatim. Yakni sejak di Jabar Kang Dedi Mulyadi membebaskan tunggakan pajak kendaraan. Khofifah terus dibanding-bandingkan dengan KDM –orang Jatim pun menyukai KDM.

“Ada yang bilang Cak Sholeh yang menggerakkan demo pembakaran gedung Grahadi itu,” kata saya kepadanya.

“Tidak betul sama sekali. Demo yang saya gerakkan baru akan terjadi tanggal 3 September lusa,” katanya. Yakni demo soal pembebasan tunggakan pajak kendaraan, soal maraknya pungli di sekolah negeri, dan soal penuntasan kasus korupsi dana hibah DPRD Jatim.

Sudah lama saya tidak diskusi dengan Sholeh. Status fotonya di WA berubah. Lebih santai. Ia duduk berselonjor di atas tempat tidur.

Saya zoom foto Sholeh. Obat rindu. Terlihatlah: ternyata sprei kasurnya merek Louis Vuitton (LV). Saya pun menggodanya: “Anda sudah berubah. Sprei saja sudah Louis Vuitton,” kata saya.

“Itu KW,” jawab Sholeh. “Belum mampu beli yang ori,” tambahnya.

“Tunggu setelah jadi anggota DPR?” goda saya lagi.

Jawabnya terlalu serius: “Justru kalau jadi anggota DPR harus sederhana. Kan disorot publik”.

Dengan bantahan Sholeh itu berarti demo besar bakar Grahadi itu sama: tanpa ada organisasi di belakangnya. Juga tanpa nama pemimpin sentralnya.

Yang menarik adalah demo ke rumah Sahroni. Mereka menemukan uang dolar Singapura. Banyak sekali. Pecahan langka: SGD 1.000 satu lembar. Pecahan SGD 1.000 tidak pernah terlihat di transaksi sehari-hari.

Rupanya pecahan SGD 1.000 paling banyak dibeli orang Indonesia. Agar menyimpan uang Rp 1 miliar hanya berwujud 100 lembar.

Anehnya uang itu disebar ke udara oleh yang menemukannya. Tidak ia ambil sendiri. Padahal satu lembar itu bernilai lebih Rp 12 juta.

Dulu demo rakyat yang sering ditunggangi kepentingan. Jangan-jangan kali ini rakyat yang menunggangi demo kepentingan.(Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Information | Sukabumi |