Oleh : Dr. Padlilah, S.H, M.HD
*Dosen: Universitas Nusa Putra Sukabumi dan Praktisi Hukum
KONTEKS Sosial-Politik dalam Pemilu Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan wujud kedaulatan rakyat di tingkat lokal, yang bertujuan memilih pemimpin berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Namun, dalam realitasnya, proses ini sering diwarnai oleh praktik yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, seperti politik uang dan penggunaan simbol agama.
Selanjutnya praktik ini tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga berpotensi memecah belah masyarakat dan menciptakan ketidaksetaraan dalam persaingan politik.
Penggunaan Ikrar Syahadat dalam Kampanye Politik memiliki Definisi dan Makna Ikrar Syahadat Ikrar syahadat adalah pernyataan keimanan dalam Islam yang menjadi inti keyakinan bagi seorang Muslim. Dalam konteks politik, ikrar ini sering dimanfaatkan oleh kandidat untuk mendapatkan dukungan dari kelompok pemilih tertentu dengan menampilkan citra religius.Bentuk Penggunaan Ikrar Syahadat dalam Kampanye Mobilisasi Identitas Keagamaan: Kandidat menggunakan ikrar syahadat untuk memperkuat citra sebagai pemimpin yang beriman.
Kampanye Simbolik di Tempat Ibadah: Beberapa kandidat menggunakan simbol keagamaan dalam kampanye di masjid atau forum keagamaan. Deklarasi Dukungan Berbasis Agama: Dukungan dari tokoh agama sering dikaitkan dengan loyalitas keagamaan calon pemilih. Implikasi Hukum dan Etis Penggunaan simbol agama, termasuk ikrar syahadat, dalam kampanye bertentangan dengan: Pasal 69 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 yang melarang kampanye yang mengandung SARA dan eksploitasi agama.
1. Prinsip Netralitas Pemerintah dan Masyarakat: Pemilih harus diberikan kebebasan untuk memilih berdasarkan rasionalitas, bukan sentimen keagamaan.
2. Dampak Sosial-Politik
3. Polarisasi Sosial: Pemanfaatan simbol agama dapat memperdalam perpecahan sosial di masyarakat.
4. Manipulasi Kepercayaan Publik: Pemilih cenderung terjebak dalam pertimbangan bukan kompetensi calon.
Politik Uang dalam Pilkada memiliki Definisi Politik Uang yakni Politik uang adalah pemberian uang atau barang kepada pemilih dengan tujuan mempengaruhi pilihan mereka. Praktik ini dilarang oleh Pasal 187A UU No. 10 Tahun 2016 dan dapat dikenakan sanksi pidana.
Bentuk Politik Uang dalam Pilkada
1. Pemberian Langsung kepada Pemilih: Uang tunai atau barang menjelang hari pemilihan.
2. Penggunaan Bantuan Sosial (Bansos): Kandidat memanfaatkan program bantuan untuk menarik dukungan.
3. Janji Imbalan Politik: Janji proyek atau kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu.
Faktor Penyebab Politik Uang
– Budaya Patronase: Hubungan patron-klien yang kuat di masyarakat tertentu.
– Tingkat Pendidikan Politik Rendah: Banyak pemilih yang lebih tergiur imbalan materi daripada program kerja.
– Keterbatasan Penegakan Hukum: Sulitnya membuktikan praktik politik uang di lapangan. Implikasi Politik Uang terhadap Demokrasi
– Menurunkan Kualitas Pemimpin: Kandidat yang mengandalkan politik uang lebih cenderung tidak memiliki visi yang jelas.
– Menciptakan Ketidakadilan: Kandidat dengan modal besar lebih diuntungkan dibandingkan kandidat dengan integritas tinggi namun minim sumber daya.
– Merusak Integritas Pemilu: Mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Tinjauan Hukum Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2016 Larangan Eksploitasi Agama:
Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 menegaskan bahwa kampanye harus bebas dari unsur SARA, termasuk eksploitasi agama. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenakan sanksi administratif dan pidana. Larangan Politik Uang. Politik uang diatur secara tegas dalam UU No. 10 Tahun 2016. Pelaku, baik pemberi maupun penerima, dapat dijerat hukum. Namun, implementasinya sering menghadapi kendala teknis dan politis.
Peran Bawaslu dan KPU Sebagai pengawas pemilu, Bawaslu memiliki tugas untuk memantau dan menindak pelanggaran, tetapi efektivitasnya masih terbatas akibat berbagai hambatan, sepertiminimnya bukti dan pengaruh politik.
Upaya Mengatasi Praktik Ikrar Syahadat dan Politik Uang dalam Pilkada.
– Peningkatan Edukasi Politik: Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya manipulasi agama dan politik uang.
– Penguatan Peran Bawaslu: Menyediakan sumber daya dan kewenangan yang lebih besar untuk menindak pelanggaran.
– Keterlibatan Masyarakat Sipil: Mengajak organisasi keagamaan dan LSM untuk mengawasi kampanye.
Kesimpulan
Penggunaan ikrar syahadat dan praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan fenomena kompleks yang berpotensi mencederai prinsip dasar demokrasi. Fenomena ini tidak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga memiliki implikasi etis, sosial, dan politik yang mendalam. Berdasarkan analisis terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 2016
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta berbagai sumber hukum dan kasus empiris, beberapa kesimpulan utama dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Penggunaan Ikrar Syahadat dalam Kampanye Politik
Penggunaan simbol agama, seperti ikrar syahadat, bertujuan untuk memanipulasi emosi keagamaan pemilih. Meskipun strategi ini dapat meningkatkan popularitas kandidat tertentu, praktik tersebut melanggar prinsip netralitas dan melibatkan politik identitas yang berbahaya. Aspek Hukum: Praktik ini melanggar ketentuan dalam Pasal 69 UU No. 10 Tahun 2016 yang melarang kampanye dengan unsur SARA. Dampak Sosial: Manipulasi simbol agama berpotensi memicu polarisasi sosial dan konflik horizontal, terutama di daerah dengan keberagaman agama dan etnis.
Oleh karena itu, penggunaan agama dalam politik harus diawasi ketat untuk mencegah eksploitasi yang merugikan masyarakat dan integritas Pilkada.
2. Politik Uang sebagai Ancaman Demokrasi
Politik uang adalah salah satu bentuk pelanggaran serius dalam Pilkada yang merusak prinsip kebebasan dan keadilan dalam pemilu. Meskipun telah diatur secara tegas dalam Pasal 187A UU No. 10 Tahun 2016, implementasi penegakan hukum terhadap politik uang masih menghadapi berbagai tantangan. Aspek Hukum: Politik uang dapat dikenakan sanksi pidana hingga 6 tahun penjara dan
denda hingga Rp1 miliar. Namun, lemahnya penegakan hukum membuat praktik ini sulit diberantas. Dampak Politik: Politik uang menurunkan kualitas pemimpin terpilih dan meningkatkan risiko korupsi karena kandidat cenderung berorientasi pada pengembalian modal politik. Penguatan pengawasan dan peningkatan kesadaran masyarakat adalah kunci dalam memberantas politik uang, dengan melibatkan peran aktif Bawaslu dan masyarakat sipil.
3. Relevansi dan Tantangan Implementasi UU Pemilihan Kepala Daerah Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 sudah memuat ketentuan yang jelas mengenai
larangan politik uang dan kampanye berbasis agama. Namun, efektivitas implementasi undang-undang ini masih terbatas. Penegakan Hukum: Dibutuhkan penguatan lembaga pengawas pemilu, seperti Bawaslu, dalam melakukan investigasi dan penindakan terhadap pelanggaran. Kesadaran Publik: Pendidikan politik yang intensif diperlukan untuk mendorong
masyarakat agar lebih rasional dalam memilih dan berani melaporkan pelanggaran yang terjadi.
4. Rekomendasi Strategis untuk mencegah dan menindaklanjuti penggunaan ikrar syahadat dan politik uang dalam Pilkada, beberapa langkah strategis perlu diambil: Peningkatan Kapasitas Pengawasan: Bawaslu harus diberdayakan dengan sumber daya yang memadai untuk mengawasi kampanye secara efektif. Edukasi Politik: Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil harus meningkatkan pendidikan politik, terutama di daerah rawan politik uang. Partisipasi Aktif Masyarakat: Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam pengawasan pemilu dan diberikan perlindungan hukum jika melaporkan pelanggaran.
Saran Berdasarkan hasil analisis mengenai fenomena penggunaan ikrar syahadat dan politik uang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), terdapat beberapa saran yang dapat diajukan untuk memperbaiki integritas proses demokrasi lokal di Indonesia. Upaya ini memerlukan keterlibatan seluruh elemen masyarakat, termasuk penyelenggara pemilu, pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil.
Revisi dan Penyempurnaan Regulasi: Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 perlu direvisi untuk memberikan sanksi yang lebih
tegas dan spesifik terkait pelanggaran politik uang dan penggunaan simbol agama dalam kampanye. Penyempurnaan aturan juga perlu mencakup mekanisme pengawasan yang lebih transparan dan akuntabel. Penegakan Hukum yang Konsisten: Aparat penegak hukum, seperti Bawaslu dan kepolisian, harus meningkatkan efektivitas penanganan kasus politik uang.
Penindakan harus dilakukan tanpa pandang bulu, dengan memberikan perlindungan kepada pelapor dan saksi. Peningkatan Kapasitas Bawaslu: Diperlukan pelatihan dan peningkatan kapasitas pengawas pemilu di tingkat lokal agar dapat mendeteksi dan mencegah praktik politik uang dan eksploitasi agama secara efektif.
Edukasi Politik kepada Masyarakat Sosialisasi Bahaya Politik Uang: Pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu harus gencar melakukan kampanye edukasi politik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif politik uang terhadap demokrasi dan pembangunan daerah. Program Pendidikan Demokrasi Berbasis Komunitas:
Membangun program pendidikan politik berbasis komunitas, terutama di daerah rawan politik uang dan eksploitasi agama, untuk memperkuat pemahaman masyarakat akan pentingnya memilih berdasarkan kualitas calon.
Melibatkan Organisasi Keagamaan: Organisasi keagamaan dapat berperan aktif dalam memberikan pemahaman kepada jamaah tentang pentingnya menjaga netralitas agama dalam politik, serta menolak segala bentuk manipulasi simbol agama dalam kampanye.
Penguatan Pengawasan Partisipatif Peningkatan Peran Masyarakat Sipil yaitu LSM, media, dan kelompok masyarakat harus diberdayakan sebagai mitra dalam pengawasan pemilu. Mereka dapat menjadi watchdog yang melaporkan pelanggaran politik.(*)