Oleh: Boby es-Syawal el-Iskandar
Nama Arjuna kini telah berubah dari sekadar panggilan seorang pemuda, menjadi simbol sebuah luka kolektif. Ia bukan lagi nama dari tokoh pewayangan yang sakti dan penuh wibawa, melainkan nama dari seorang anak manusia yang nyawanya terenggut secara tragis di dalam sebuah tempat yang seharusnya paling aman, paling damai: masjid.
Bagaimana mungkin rumah Allah, yang seharusnya menjadi tempat manusia bersujud, meratap, dan mencari perlindungan, justru berubah menjadi arena kekerasan yang brutal? Bagaimana mungkin teriakan takbir, yang seharusnya mengagungkan asma-Nya, tenggelam oleh teriakan kebencian dan gemeretak pukulan? Kisah Arjuna dari Sibolga ini memaksa kita untuk melakukan introspeksi yang paling dalam tentang makna kesucian sebuah tempat ibadah dan krisis kemanusiaan yang melanda kita.
Prolog: Sebuah Pagi yang Berbeda di Sibolga
Udara pagi di Sibolga, Sumatera Utara, pada hari itu seharusnya sama seperti hari-hari sebelumnya: dipenuhi oleh semangat warga memulai aktivitas dan gemanya suara azan yang menuntun umat ke masjid. Namun, ada yang retak. Sebuah insiden—yang akar dan detailnya masih terus diselidiki—berujung pada sebuah adegan yang tidak terbayangkan.
Arjuna, seorang pemuda, dikabarkan masuk ke dalam kompleks Masjid. Motifnya entah, apakah ia mencari perlindungan, apakah ada kesalahpahaman, atau mungkin karena alasan lain yang hanya diketahui olehnya dan Sang Pencipta. Yang terjadi kemudian adalah sebuah respons kolektif yang gelap. Alih-alih didamaikan, ditanya, atau diamankan dengan cara-cara yang manusiawi, Arjuna justru dikeroyok oleh sejumlah orang di dalam lingkungan masjid itu sendiri.
Tempat yang semestinya menjadi pelindung, berbalik menjadi sangkar maut. Lantai yang seharusnya ditempeli dahi-dahi yang bersujud, ternoda oleh genangan darah seorang pemuda yang sekarat. Dinding yang seharusnya menggema dengan lantunan ayat-ayat suci, menjadi saksi bisu dari erangan kesakitan dan amuk-an massa. Dalam sekejap, masjid itu telah menyaksikan peralihan peran yang paling paradoks: dari rumah Allah menjadi tempat rehat terakhir bagi Arjuna.
Retaknya Bingkai Kesucian
Secara doktrin, masjid dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat mulia. Rasulullah SAW sendiri, saat pertama kali tiba di Madinah, prioritas utamanya adalah membangun Masjid Quba, kemudian Masjid Nabawi. Masjid bukan hanya tempat shalat; ia adalah pusat peradaban. Tempat bermusyawarah, menuntut ilmu, mengatur strategi perdamaian, dan menjadi naungan bagi yang lemah.
Filosofi “Baitullah” (Rumah Allah) menegaskan bahwa di dalamnya, semua manusia adalah tamu Allah. Setiap jiwa yang memasuki masjid seharusnya merasa aman, dihormati, dan dilindungi, terlepas dari latar belakang, kesalahan, atau keyakinannya. Konsep haramain (dua tanah suci) di Makkah dan Madinah, dimana tidak boleh ada pertumpahan darah, adalah puncak dari ide ini: kesucian tempat melindungi keselamatan jiwa.
Tragedi Arjuna, dengan demikian, bukan hanya sekadar tindak kriminal. Ia adalah sebuah pelanggaran simbolik yang sangat dalam. Ia melukai esensi dari fungsi masjid itu sendiri. Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang terjadi di dalamnya telah merobek kain suci yang menyelimuti bangunan tersebut. Kekerasan massa telah mengalahkan otoritas kelembagaan, emosi buta telah mengubur akal sehat, dan “solidaritas” yang keliru telah menafikan prinsip-prinsip keadilan yang justru menjadi fondasi agama.
Apa yang terjadi di Sibolga adalah sebuah gejala bahwa dalam benak sebagian masyarakat, nilai-nilai kesucian sebuah tempat bisa dengan mudah tergantikan oleh narasi “ancaman” yang harus dihadapi dengan kekerasan. Masjid, dalam konteks ini, disubukkan menjadi benteng identitas kelompok, bukan lagi rumah bagi semua pencari Tuhan.
Jejak Darah di Bawah Kubah
Meski penyelidikan hukum masih berlangsung, skenario yang terungkap menggambarkan sebuah alur yang memilukan. Arjuna, sang “penyusup” yang dianggap mengganggu, tidak diberikan kesempatan untuk berbicara atau membela diri. Mekanisme keamanan yang semestinya dilakukan oleh takmir masjid atau dilaporkan kepada pihak berwajib, tidak berjalan.
Yang muncul adalah naluri purba “kawan versus lawan”. Dalam sekejap, seorang manusia—dengan segala kompleksitas hidupnya—direduksi menjadi seonggok “masalah” yang harus “disingkirkan”. Pukulan dan tendangan yang berjatuhan di tubuh Arjuna mungkin dimaknai sebagai pembelaan terhadap kesucian masjid, tetapi pada hakikatnya, itu adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai inti yang dijunjung tinggi oleh masjid itu sendiri: rahmat, kasih sayang, dan keadilan.
Tempat dimana jamaah biasa duduk bersila mendengarkan tausiyah tentang cinta kasih Rasulullah, dalam sekejap berubah menjadi ruang interogasi dan eksekusi yang primitif. Suara adzan yang memanggil kepada keselamatan (“Hayya ‘alal falah”, Marilah menuju kemenangan) seolah dibungkam oleh suara dengus amarah dan kepuasan sesaat melihat “ancaman” terlumpuhkan.
Arjuna, Bukan Sekadar Nama
Di balik headline berita dan analisis sosial, ada seorang manusia bernama Arjuna. Ia adalah seorang anak, mungkin seorang saudara, seorang teman. Ia memiliki cerita, harapan, dan mungkin juga luka-lukanya sendiri. Publik mungkin hanya mengenalnya sebagai “pemuda yang dikeroyok di masjid”, tetapi bagi keluarganya, ia adalah segalanya.
Kematiannya meninggalkan duka yang tak terperi. Sebuah keluarga kini harus merelakan anak mereka pergi, bukan karena sakit atau usia tua, tetapi karena kekerasan yang terjadi di tempat yang mereka anggap suci. Ada pertanyaan yang akan menghantui mereka selamanya: “Apa salah anak kami? Kenapa tidak ada yang menghentikan? Kenapa di masjid?”
Penderitaan keluarga Arjuna adalah dimensi manusiawi yang tidak boleh hilang dalam gemuruh analisis kita. Tragedi ini mengajarkan bahwa sebelum kita melihat label “penyusup” atau “pelaku gangguan”, kita harus melihatnya sebagai sesama manusia yang memiliki hak untuk hidup dan mendapatkan peradilan yang adil.
Refleksi untuk Kita Semua: Memugar Kembali Kesucian yang Retak
Tragedi Sibolga adalah cermin bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi umat Muslim. Ia memantulkan beberapa krisis yang kita hadapi:
1. Krisis Literasi Agama: Pemahaman agama yang dangkal dan terfokus pada aspek formalistik dan simbolis, tanpa diimbangi dengan penghayatan mendalam tentang akhlak, rahmat, dan keadilan.
2. Krisis Kepercayaan pada Hukum: Tindakan main hakim sendiri tumbuh subur di tanah dimana kepercayaan terhadap proses hukum sudah sangat merosot. Masyarakat merasa lebih cepat dan “adil” menyelesaikan masalah dengan tangan mereka sendiri.
3. Krisis Kemanusiaan: Kemampuan untuk memanusiakan orang lain, terutama yang dianggap “berbeda” atau “bersalah”, semakin luntur. Empati mudah terkikis oleh prasangka dan narasi kebencian.
Lantas, bagaimana memugar kembali kesucian masjid yang telah retak?
Pertama, takmir dan pengurus masjid harus diberi pemahaman dan pelatihan yang memadai tentang manajemen konflik dan penanganan orang asing atau individu yang dianggap mengganggu. Protokol yang jelas harus dibuat, dengan titik akhirnya adalah menyerahkan masalah kepada pihak yang berwajib, bukan mengambil alih hukum.
Kedua, para penceramah dan tokoh agama memiliki tanggung jawab besar untuk terus menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Khutbah dan tausiyah harus menekankan pada akhlakul karimah, menjaga nyawa manusia (hifdzun nafs), dan larangan main hakim sendiri.
Ketiga, sebagai jamaah biasa, kita harus berani menjadi suara penenang di tengah gejolak. Berani menahan tangan yang akan mengayun, dan lidah yang akan menghujat. Mengingatkan sesama bahwa kesabaran dan prosedur hukum adalah jalan terbaik.
Penutup: Agar Arjuna Tidak Mati Sia-sia
Kematian Arjuna adalah sebuah tragedi yang tidak boleh kita lupakan, apalagi kita normalisasi. Ia harus menjadi monumen peringatan tentang betapa rapuhnya peradaban kita ketika nilai-nilai kemanusiaan ditinggalkan.
Masjid harus dikembalikan pada khittah-nya. Ia harus kembali menjadi oase ketenangan di tengah gurun kehidupan yang keras. Tempat dimana orang yang bersalah pun bisa datang untuk bertaubat, orang yang lemah bisa mencari perlindungan, dan orang yang kebingungan bisa menemukan pencerahan, bukan pentungan.
Arjuna telah menjadikan masjid di Sibolga sebagai tempat rehat terakhirnya. Biarlah kematiannya yang tragis itu tidak menjadi batu nisan bagi kemanusiaan kita, melainkan menjadi batu pijakan untuk membangun kembali kesadaran kolektif. Kesadaran bahwa tidak ada kesucian sebuah bangunan yang lebih tinggi daripada kesucian nyawa seorang manusia. Kesadaran bahwa membela masjid bukan dengan menodai lantainya dengan darah, melainkan dengan mengisi ruang-ruangnya dengan ilmu, kasih sayang, dan keadilan.
Semoga Arjuna menemukan kedamaian yang sejati di sisi-Nya. Dan semoga kita, yang masih diberi kesempatan, mampu belajar dari tragedi ini untuk menciptakan dunia dimana setiap rumah ibadah benar-benar menjadi rumah bagi semua pencari kedamaian.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10). (*)




























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5304440/original/011493200_1754271410-emas_3.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4692327/original/076878600_1703038223-Ilustrasi_ibu_dan_anak_laki-lakinya.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/957870/original/076978800_1439802056-jokowi-3.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5283839/original/070148500_1752566379-hl3.jpg)



:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4078820/original/073317100_1656988242-pexels-j__shoots-4277.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4263593/original/054502900_1671185465-T_albo_041109_011_resize.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3239343/original/059385600_1600230916-photo-1566004100631-35d015d6a491.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1685071/original/033301100_1503235651-Chrysopelea_ornata.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5253791/original/032620300_1750061407-baby-boy-striped-shirt-is-sleeping-bed.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3176662/original/077389200_1594444330-Photo_by_Juan_Encalada_on_Unsplash.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4855115/original/075891600_1717661103-Ilustrasi_bayi_perempuan.jpg)


