Oleh : Herlan Suhaemi
Mahasiswa S1 Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
- 1. Pendahuluan
Upaya pemberantasan korupsi sering kali menemui hambatan. Hal ini terjadi karena masalah korupsi tidak hanya muncul di lingkungan birokrasi, baik di lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, tetapi juga telah menyebar ke sektor swasta, dunia usaha, dan berbagai lembaga dalam masyarakat.
Oleh karena itu, pada dasarnya masalah pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya terkait dengan penegakan hukum, melainkan juga melibatkan aspek sosial dan psikologi sosial yang sama beratnya dengan masalah hukum, sehingga perlu ditangani secara menyeluruh dan terpadu.
Menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi bukanlah tanggung jawab penyelenggara negara saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab masyarakat dan seluruh komponen negara. Masyarakat sebaiknya tidak hanya menjadi objek dalam penyelenggaraan negara, tetapi juga harus turut berperan sebagai subjek yang aktif.
2. Masyarakat sebagai Pemegang Kedaulatan Tertinggi
Kekuasaan pemerintah seharusnya diberikan oleh rakyat. Masyarakat Indonesia, melalui pemilihan umum, memiliki kendali untuk memilih atau mengganti pejabat negara, termasuk dalam kasus korupsi. UU No. 7 Tahun 2017 mempertegas bahwa pejabat yang terlibat kasus korupsi tidak otomatis dilarang mencalonkan diri kembali, memberikan tanggung jawab pada masyarakat untuk menentukan pemimpin mereka.
Hal ini menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat dalam memilih pemimpin yang jujur, karena kepercayaan publik yang rusak oleh korupsi sulit dipulihkan.
3. Masyarakat sebagai pencegah
Pendekatan pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini cenderung represif, namun cara ini belum efektif. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi pencegahan yang komprehensif dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, terutama melalui pendekatan edukatif.
Edukasi ini bertujuan mendorong partisipasi masyarakat dalam pencegahan korupsi sesuai kapasitas masing-masing dengan menanamkan nilai kejujuran dan menumbuhkan kebencian terhadap korupsi.
Pendidikan antikorupsi perlu dilakukan sejak dini di tingkat sekolah hingga perguruan tinggi agar dapat membentuk budaya integritas. Pendekatan preventif dianggap lebih bermanfaat dan efektif dalam menangani korupsi dibanding hanya mengandalkan hukuman.
4. Masyarakat dalam Co-Government
Peningkatan kapasitas masyarakat agar lebih aktif dalam penegakan hukum, terutama dalam memerangi korupsi, sangat diperlukan. Meski pemerintah menyediakan anggaran untuk infrastruktur dan investasi, dukungan anggaran untuk kegiatan sosial masyarakat masih kurang diperhatikan.
Menurut Sujatmiko (2002), peran masyarakat (civil society) dan lembaga infrastruktur bersama lembaga suprastruktur (pemerintah) sangat penting dalam membangun sinergi yang terintegrasi.
Sistem ini disebut co-government, di mana terjadi kerja sama antara sektor publik dan swasta, atau disebut juga co-production, dalam penyediaan produk dan jasa.
Dukungan pada masyarakat ini bisa menjadi “alarm” bagi pemerintah untuk mencegah korupsi. Beberapa lembaga yang mendukung mekanisme ini meliputi parlemen, pengadilan, lembaga pengawas, dan antikorupsi.
Dengan menggunakan pola ini secara terus-menerus, masyarakat bisa terlibat dalam pengawasan yang lebih efektif di tingkat lokal, nasional, dan global, sehingga tercipta kondisi hypercontrol untuk mencegah korupsi. Partisipasi masyarakat melalui jaringan global, terutama lembaga yang mampu menangani korupsi, bisa meningkatkan efektivitas pengawasan.
Halaman: 1 2