Ketika Mahasiswa IPB Melihat Sisi Lain Fenomena Petani Joget Sadbor di Sukabumi

1 week ago 25

SUKABUMI – Warna baru pun hadir berkat Joget Sadbor. Fenomena kekiniaan ini lahir dari seorang petani di Desa Bojongkembar, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi. Gara-gara Gunawan, nama asli dari Sadbor, ratusan warga setempat ikut berjoget di platform media sosial Tiktok.

Petani lainnya berjoget. Anak muda dan emak-emak pun membuat konten yang sama. Mereka berjoget ria, bercanda, dan berinteraksi dengan penonton. Aktivitas ini, yang awalnya hanya hiburan, perlahan berubah menjadi fenomena sosial yang menarik perhatian banyak pihak.

Uniknya, para petani yang biasanya akrab dengan sawah dan kebun, ikut terlibat. Mereka menampilkan sisi lain dari kehidupan pedesaan: bahwa petani juga bisa mengekspresikan diri, bahkan ikut dalam tren digital.

Nama “Sadbor” pun melekat, dan sejak itu warga Bojongkembar semakin dikenal lewat layar ponsel. Awalnya, tidak sedikit yang memandang sebelah mata. Joget dianggap bisa merusak citra petani, bahkan dikhawatirkan membuat mereka lalai dengan pekerjaannya. Namun, realitas di lapangan berkata lain. Petani tetap menanam, tetap panen, dan tetap hadir di ladang. Joget hanya menjadi jeda di sela rutinitas yang berat.

Fenomena ini akhirnya membuat mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) tertarik untuk meneliti lebih jauh. Melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Riset Sosial Humaniora, tim yang menamakan diri Jogetbor mencoba membaca makna di balik musik dan gerakan itu. Bagi mereka, joget bukan sekadar hiburan, tetapi pintu untuk memahami perubahan sosial ekonomi desa.

Tim ini terdiri dari Muhammad Daffa Haikal Zamry, Faidzul Anwar Zumar Widodo, Nasywa Lira Ramasari, Muhamad Fauzan Akbar Maryadi, serta Cameliya Ulya Hidayah, dengan bimbingan Ir. Nindyantoro, dosen IPB yang berpengalaman dalam bidang sosial ekonomi pertanian. Mereka tidak hanya mewawancarai warga, tetapi juga menggandeng pemerintah daerah, termasuk Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi.

Menurut Yuyus Yustriana selaku Ketua Tim Kerja Penyuluhan Dinas Pertanian, fenomena ini memang dipantau. “Kami sebatas melakukan pendampingan dan memonitor kondisi di lapangan. Kalau dikemas dengan baik, fenomena ini bisa jadi daya tarik wisata desa sekaligus promosi produk pertanian,” ujarnya.

Pandangan ini membuka perspektif baru: ternyata joget tidak selalu dianggap mengganggu, melainkan bisa menjadi potensi. Sampai saat ini, Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi tetap menjalankan program utama mereka, seperti penyuluhan, pemberian benih, dan pupuk bagi kelompok tani. Petani yang ikut joget pun tidak diperlakukan berbeda. Mereka tetap mendapat bantuan yang sama. Dengan kata lain, pemerintah tidak melihat aktivitas ini sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian dari dinamika sosial desa.

Fenomena Joget Sadbor memberi pelajaran bahwa kehidupan pedesaan tidak statis. Petani bukan hanya sosok yang menanam dan memanen, tetapi juga bagian dari masyarakat yang bisa mengikuti tren, bahkan menciptakan tren baru. Kehadiran mereka di TikTok menunjukkan bahwa dunia digital bukan monopoli kaum muda perkotaan. Justru dari desa, muncul ekspresi yang unik, orisinal, dan menyentuh.

Bagi publik yang lebih luas, fenomena ini bisa memberi inspirasi. Pertama, bahwa petani pun berhak punya ruang ekspresi, sama seperti profesi lain. Kedua, dunia digital bisa menjadi jembatan antara desa dan kota, antara pertanian dan budaya populer. Ketiga, dengan pendekatan yang tepat, aktivitas sederhana bisa berkembang menjadi promosi desa, bahkan peluang ekonomi baru.

Fenomena ini masih berkembang. Tidak ada yang tahu apakah Joget Sadbor akan bertahan lama atau hanya tren sesaat. Namun, satu hal jelas: ia sudah menyingkap wajah baru masyarakat desa. Wajah yang lebih cair, terbuka, dan berani tampil. Dan yang terpenting, wajah yang tetap setia pada akar: bertani. (***)

Read Entire Article
Information | Sukabumi |