Penulis: Andra Haiqa Aulya
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, IPB Universit
KASUS tes kehamilan massal di SMA Sulthan Baruna, Cianjur, menjadi sorotan publik dan memicu kontroversi.
Pihak sekolah mengklaim bahwa tes kehamilan merupakan program tahunan yang sudah berjalan sejak dua tahun lalu yang dilaksanakan setiap selesai libur semester atau pada tahun ajaran baru.
Alasan utama diadakannya program tes kehamilah dilakukan karena adanya kasus siswi yang dinyatakan hamil pada tiga tahun lalu. Dengan diadakannya program tes kehamilan diharapkan kejadian serupa tidak terulang kembali dan untuk memastikan para siswi terhindar dari pergaulan bebas.
Program yang diberlakukan di SMA Sulthan Baruna menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Kebijakan ini menimbulkan berbagai permasalahan, mulai dari pelanggaran privasi dan hak asasi manusia para siswi, hingga kemandulan solusi yang ditawarkan untuk mencegah kenakalan remaja.
Tes urine yang dilakukan di lingkungan yang tidak terjamin kerahasiaannya, seperti toilet sekolah, merupakan tindakan yang invasif dan berpotensi traumatis. Selain itu, metode ini tidak efektif dalam mencegah kehamilan dan justru berpotensi menciptakan stigma negatif terhadap siswi yang hamil atau diduga hamil. Ketika kasus tes kehamilan massal di sekolah kembali mencuat, kita perlu merenungkan kembali pendekatan yang selama ini diterapkan untuk mengatasi masalah pergaulan remaja.
Apakah tindakan represif seperti tes kehamilan merupakan solusi yang efektif? Atau justru menghambat upaya membangun lingkungan sekolah yang aman, suportif, dan bermartabat?
Kebijakan tes kehamilan ini menuai beragam reaksi dari berbagai pihak diantaranya, Dinas Pendidikan Jawa Barat menyatakan pemerintah provinsi tidak pernah menyarankan atau membuat surat edaran mengenai tes kehamilan tersebut.
Program tes kehamilan yang dilakukan tidak ada dasar hukumnya, jika sekolah menginginkan adanya pencegahan kehamilan terhadap siswinya makan banyak cara yang bisa ditempuh oleh pihak sekolah seperti penguatan pendidikan karakter dan pembekalan lainnya.
Lebih lanjut, Komisi V DPRD Jawa Barat berencana memanggil kepala sekolah untuk dimintai klarifikasi, pihaknya menganggap tes tersebut diskriminatif dan berpotensi berdampak negatif pada psikis siswi. Di sisi lain, KPAI menekankan bahwa edukasi dan literasi terkait perilaku sehat dan reproduksi seharusnya menjadi prioritas, bukan tes semacam ini.
Meskipun mendapat dukungan dari beberapa orang tua siswa, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap melanggar hak-hak perempuan. Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI Imran Pambudi menyayangkan tes yang dilakukan di sekolah tersebut.
Menurut dia, banyak opsi lain yang bisa dilakukan untuk memastikan siswi terhindar dari kehamilan dini. “Kegiatan ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan jiwa bagi siswi dan keluarga, terlebih untuk siswi yang hasilnya positif,” ujar Imran, mengutip detikhealth.
Beberapa masalah mental yang mungkin timbul diantaranya kecemasan dan menarik diri dari lingkaran sosial. Jika tidak tertangani dengan baik, bukan tidak mungkin memicu depresi dan
gangguan jiwa yang lebih berat.
Untuk mengatasi masalah pergaulan bebas di kalangan remaja, pendekatan edukatif jauh lebih efektif dibandingkan tindakan represif. Memberikan edukasi seks komprehensif yang mengajarkan tentang kesehatan reproduksi, perencanaan keluarga, dan hubungan yang sehat dan bertanggung jawab, adalah langkah yang lebih tepat dan berkelanjutan.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa untuk bertanya dan mendapatkan informasi yang akurat, bukan tempat untuk diintimidasi dan dipermalukan.
Kasus di SMA Sulthan Baruna menjadi bukti nyata betapa pentingnya mengedepankan hak asasi manusia dan pendekatan edukatif dalam penanganan masalah remaja.
Menggunakan cara-cara represif hanya akan berdampak buruk, menimbulkan trauma, dan menghambat upaya membangun lingkungan sekolah yang aman, suportif, dan bermartabat bagi semua siswa. (*)