BANDUNG BARAT – Desa Ciwaruga, sebuah desa semi-urban yang terletak di Kecamatan Parongpong dan berbatasan langsung dengan Kota Bandung serta Kota Cimahi, kini tengah bersiap menapaki jalur sebagai destinasi wisata berkelanjutan berbasis komunitas. Sejak bulan April 2025, tim dosen dan mahasiswa dari Politeknik Negeri Bandung (Polban) menjalankan program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) skema Pemberdayaan Desa Binaan (PDB) dengan fokus pada identifikasi dan pemetaan potensi wisata dengan penguatan kapasitas masyarakat lokal.
Dengan bentang alam yang berbukit dan udara sejuk khas ketinggian 700 meteran di atas permukaan laut, Ciwaruga sebenarnya menyimpan banyak potensi. Lokasinya cukup strategis berada di perbatasan kota Bandung, Cimahi dan Bandung Barat. Namun demikian, potensi ini belum tergarap secara profesional karena keterbatasan kapasitas dan kelembagaan di tingkat desa yang memahami potensi wisata.
Program PKM PDB yang diusulkan Team Pariwisata Polban sejalan dengan keinginan Kepala Desa Ciwaruga untuk mengembangkan Desa Ciwaruga sebagai desa wisata. Setelah melakukan diskusi pada tahap awal Team Pariwisata Polban memberikan usulan pengembangan Desa wisata berkelanjutan melalui pendekatan partisipatif dan berbasis potensi lokal atau umum disebut pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism atau CBT). Kegiatan awal dimulai dengan survei dan observasi lapangan untuk mengidentifikasi atraksi alam, budaya, dan buatan yang tersebar di berbagai wilayah desa. Berdasarkan informasi yang telah terkumpul sebelumnya, pemetaan dilaksanakan di wilayah Desa Ciwaruga sehingga dihasilkan identifikasi dan peta potensi wisata di desa ini. Beberapa titik potensial seperti Gua Jepang, Curug Barong, area perkebunan, rumah pohon, hingga sentra UMKM lokal dikaji bersama Kepala Desa, aparat desa lainnya bersama masyarakat.
Salah satu pendekatan utama yang diusung adalah CBT, yaitu pengembangan desa wisata yang bertumpu pada partisipasi aktif masyarakat lokal. CBT menekankan bahwa membangun desa wisata tidak harus dimulai dengan dana besar atau infrastruktur mewah, melainkan cukup dengan memanfaatkan aset yang sudah ada alam, budaya, kearifan lokal sembari menginvestasikan energi pada sumber daya manusia desa itu sendiri. Tiga pilar utama CBT yaitu dari Masyarakat, oleh Masyarakat dan untuk masyarakat itu sendiri. Masyarakat atau komunitas adalah kunci utama.
“Desa wisata itu bukan soal membangun resort atau wahana mahal. Ini soal bagaimana warga desa bisa menjadi tuan rumah yang baik, mengelola potensi mereka dengan cara yang mandiri dan lestari,” jelas Tomy Andrianto, dosen Polban sekaligus koordinator lapangan program ini. “Yang dibutuhkan adalah pelatihan, pendampingan, dan kepercayaan diri masyarakat untuk memulai. Kuncinya adalah menemukan “local champion”
Tidak hanya berhenti di pemetaan, tim Pariwisata Polban juga menggelar serangkaian wawancara untuk mendalami potensi wisatanya termasuk Diskusi Terpumpun (Focus Group Discussion) bersama beberapa unsur, yaitu warga, perangkat desa, Kelompok Wanita Tani, Karang Taruna hingga tokoh masyarakat. Hasil diskusi menunjukkan bahwa warga memiliki semangat besar untuk terlibat, namun masih membutuhkan bimbingan teknis, strategi kelembagaan, dan keterampilan praktis dalam mengelola wisata.
Sebagai tindak lanjut, Polban dijadwalkan mengadakan sosialisasi dan pelatihan perdana kepada Masyarakat langsung yang bertema Community-Based Tourism (CBT) di kantor desa Ciwaruga. Sosialisasi dan pelatihan ini akan membekali peserta dengan pengetahuan dasar mengenai desa wisata berbasis komunitas, tata kelola destinasi, serta prinsip-prinsip pelayanan dan konservasi berbasis lokal.
“Kami percaya, kekuatan utama dari desa wisata bukan hanya terletak pada keindahan alamnya, tetapi pada keterlibatan aktif dan kesadaran kolektif masyarakatnya,” ujar Tomy Andrianto, selaku Koordinator dan perwakilan akademisi Polban.
“Melalui pendekatan ini, kami ingin memastikan bahwa pengembangan desa wisata bukanlah proyek luar masuk, melainkan hasil gotong royong warga sendiri,” tuturnya lagi.
Pelatihan ini dirancang tidak hanya sebagai sesi transfer ilmu, tetapi juga sebagai forum strategis untuk menyiapkan langkah-langkah kelembagaan seperti pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), penyusunan rencana pengelolaan, serta inisiasi paket wisata edukatif. Warga pun antusias merespons program ini, terutama dengan peluang keterlibatan generasi muda melalui Karang Taruna, KWT, dan tokoh-tokoh lokal.
Desa Ciwaruga diproyeksikan menjadi percontohan pengembangan desa wisata semi-urban berbasis partisipasi, dengan keterlibatan institusi pendidikan tinggi sebagai mitra pembangunan. Dalam jangka menengah, program ini diharapkan melahirkan destinasi yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga kuat secara sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
Dalam sesi diskusi yang dilakukan di Polban, Sekretrais Desa dan Kades Ciwaruga mengungkapkan bahwa sejak lama pemerintah desa dan masyarakat memiliki keinginan mengembangkan area gua dan area kebun untuk aktivitas wisata. Mereka pernah kedatangan siswa SD sekitar desa dan sudah mendapatkan request dari beberapa komunitas yang ingin berkunjung, namun belum tahu dan tidak percaya diri bagaimana memulainya.
Ke depan, warga berencana membentuk pengelola desa wisata yang professional seperti Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), menjalin kemitraan dengan pemilik lahan, serta mengembangkan atraksi seperti wisata edukasi anak, agroedukasi, hingga wisata religi dan budaya. Bahkan, pelatihan untuk pelayanan tamu disabilitas pun mulai dirancang.
Polban sendiri tidak hanya berperan sebagai fasilitator, tetapi juga membuka Ciwaruga sebagai laboratorium hidup bagi mahasiswa dari berbagai jurusan: mulai dari pariwisata, pemasaran, teknologi informasi, hingga bisnis digital.
Langkah Ciwaruga memang baru dimulai, tapi sudah menunjukkan arah yang kuat: membangun pariwisata tanpa harus bergantung pada investor besar, melainkan dengan gotong royong warga dan komitmen untuk belajar. Jika berhasil, Ciwaruga bukan hanya akan menjadi destinasi wisata baru, tetapi juga model pemberdayaan desa yang bisa direplikasi di tempat lain. (*/sri)