Dag-dig-dug Danantara

6 hours ago 5

Tepat sekali Danantara menempati gedung pusat Bank Mandiri di sebelah timur Polda Metro Jaya. Nama gedung itu pun berubah. Dari Plaza Bank Mandiri ke Wisma Danantara.

Bank itu sendiri memindahkan kantor pusatnya ke gedungnya yang lain di Jalan Sudirman Jakarta. Dengan demikian Danantara tidak perlu membangun gedung baru yang megah dan mahal.

Plaza Mandiri sudah sangat megah. Tingginya 32 lantai. Lokasinya strategis. Akses menuju gedung itu sangat banyak. Bisa lewat depan, lewat samping maupun lewat belakang. Pun bisa diraih lewat SCBD. Saya bisa melihatnya dari kamar tidur saya di Capital Residence.

Tentu yang berubah hanya nama gedung. Pemilik gedungnya sendiri tetap Bank Mandiri. Pengelolanya pun bisa tetap PT Gedung Bank Exim –anak perusahaan Bank Mandiri.

Memang gedung itu awalnya milik Bank Exim. Baru selesai dibangun Bank Exim lenyap. Bank itu bersama Bapindo, BDN, dan Bank Bumi Daya merger menjadi satu Bank Mandiri.

Begitu strategis lokasi Wisma Danantara sampai saya pun, duluuu, sering meminjamnya untuk rapat. Terutama bila ada rapat dengan DPR.

Di sela-sela rapat itu saya perlu ruang rapat yang tidak jauh dari DPR. Ke gedung itulah rapat-rapat koordinasi BUMN dipindahkan. Lalu balik lagi ke DPR. Kembali lagi ke gedung itu. Lebih hemat waktu. Dari pada balik ke Kementerian BUMN di dekat Monas.

Tentu saya pernah menaiki tangga daruratnya. Mendaki pakai kaki. Sampai lantai 32. Itu sudah menjadi kebiasaan saya bila Jakarta hujan pagi-pagi –mengalihkan tempat olahraga. Dari lapangan Monas ke gedung-gedung tinggi milik BUMN. Secara bergilir.

Lantaran Jakarta sering hujan pagi, saya pun sudah pernah menaiki semua tangga darurat gedung pencakar langit BUMN. Termasuk yang kini jadi Wisma Danantara. Tidak jarang saya menemukan tangga darurat itu dipakai tempat menumpuk barang tidak terpakai. Saya infokan itu ke manajemen gedungnya. Tidak boleh seperti itu.

Direksi Danantara pasti kerasan berkantor di situ. Nyaman. Bisa banyak lahir ide terobosan. Terutama agar bisa membantu Presiden Prabowo Subianto untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Itu pula yang ditegaskan CEO Danantara Rosan Roeslani di depan Presiden Prabowo di saat peresmian kantor itu kemarin.

Delapan Persen.

Dag-dig-dug Danantara

Alangkah beratnya. Tapi Rosan seperti tidak berat mengucapkan dukungannya itu. Mungkin karena ia tidak menyebutkan itu sudah akan terjadi tahun ini. Mungkin bukan tahun ini. Tahun depan. Atau depannya lagi. Bisa juga depannya depan lagi.

Anda sudah tahu: Danantara akan mendapatkan uang dari dua sumber. Kumpulan dividen-dividen BUMN dan hasil investasinya sendiri. Dividen dari BUMN bisa diputar Danantara di investasi untuk meraih laba.

Kelak pemerintah tinggal memutuskan: apakah Danantara harus setor dividen ke menteri keuangan, atau Danantara diwajibkan membeli surat utang negara, atau Danantara ditugasi membiayai proyek-proyek negara yang sulit dapat uang dari APBN.

Danantara bisa lebih fleksibel dibanding perusahaan BUMN. Juga lebih lincah dibanding misalnya Bank Indonesia atau OJK. Semuanya itu milik negara tapi Danantara punya kelebihan dibanding BUMN, BI, dan OJK.

BI biasanya hanya bisa menggunakan ”laba”-nya untuk membeli surat utang negara. Tidak bisa untuk investasi. Atau membiayai proyek pemerintah.

Dengan menggunakan ”laba” BI untuk membeli surat utang negara pun hakikatnya sama: pemerintah bisa memperoleh sumber dana APBN untuk pembangunan proyek negara.

Begitu besar harapan pada Danantara. Begitu megah kantor yang diberikan untuk dipakainya. Begitu tinggi misinya.

Tiga tahun pertama masa jabatan Presiden Prabowo akan habis untuk mendewasakan bayi Danantara. Setelah itu kesibukan akan beralih ke kampanye Pilpres berikutnya.

Bila yang terpilih orang yang berbeda Anda pun bisa membayangkan bagaimana dag-dig-dugnya Danantara.(Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Information | Sukabumi |