JAKARTA – Ketua DPP Partai Gerindra, Heri Gunawan, menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah dengan seruan agar putusan tersebut dikaji secara lebih mendalam dan komprehensif. Menurutnya, keputusan ini berpotensi kontraproduktif terhadap penguatan konsolidasi demokrasi dan bisa bertentangan dengan konstitusi.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pemilu nasional terdiri atas pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu, pemilu daerah meliputi pemilihan DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah. MK juga mengusulkan jeda waktu antara keduanya minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Heri Gunawan, yang akrab disapa Hergun, menegaskan bahwa meskipun MK memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1), putusan tersebut tetap harus sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional.
“Semuanya perlu dipelajari secara seksama. Ditimbang sisi positif dan negatifnya. Putusan ini memang mempertimbangkan dinamika Pemilu Serentak 2024, tetapi juga mengandung potensi pelanggaran konstitusi dan melewati batas kewenangan MK,” ujar Hergun kepada media, Rabu (2/7/2025).
Hergun mengakui bahwa terdapat beberapa sisi positif dari pemisahan pemilu nasional dan daerah, antara lain:
- – Penguatan Isu Lokal: Pemisahan pemilu memungkinkan isu-isu lokal lebih menonjol dalam pemilihan legislatif daerah, yang selama ini tertutup oleh isu nasional.
- – Peningkatan Partisipasi Pemilih: Jarak waktu yang cukup antara pemilu nasional dan daerah dapat mengurangi kejenuhan pemilih dan meningkatkan partisipasi dalam pilkada.
- – Persiapan Penyelenggara Pemilu: Penyelenggara pemilu memiliki waktu lebih longgar untuk mempersiapkan pelaksanaan, termasuk perbaikan daftar pemilih.
Namun, Hergun juga menyoroti sejumlah dampak negatif dan kontroversi dari putusan tersebut:
- Meningkatkan Petualangan Politik: Calon legislatif DPR dan DPD yang gagal bisa mencalonkan diri di DPRD, mengancam peluang politisi lokal.
- Potensi Pelanggaran Konstitusi: Pemisahan pemilu bisa memperpanjang masa jabatan DPRD lebih dari lima tahun, yang bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945.
- Krisis Konstitusional: Sulitnya mengganti ribuan anggota DPRD dengan pejabat sementara (Pj) dapat menimbulkan krisis hukum dan tata kelola.
- Pelanggaran Prinsip Kepastian Hukum: Pemilu DPRD yang tidak lagi lima tahunan akan menciptakan ketidakpastian hukum dan preseden buruk.
- Inkonstistensi Putusan MK: Putusan ini bertentangan dengan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan enam opsi keserentakan pemilu.
“MK telah melewati batas kewenangannya. Fungsi pembentukan norma adalah kewenangan DPR dan Presiden, bukan Mahkamah Konstitusi,” tegas Hergun.
Sebagai Anggota Komisi II DPR RI, Hergun menyatakan bahwa kajian ini akan dibawa ke dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu mendatang.
“Karena ada dugaan bertentangan dengan konstitusi, tidak menutup kemungkinan DPR akan lebih mengikuti ketentuan dalam UUD NRI 1945,” pungkasnya.(*)