Ketua Umum BMPS Kota Sukabumi Soroti Kebijakan Gubernur: Kebijakan Tambah Siswa per Kelas Dinilai Ancam Sekolah Swasta

3 weeks ago 22

SUKABUMI – Dunia pendidikan di Jawa Barat tengah dihebohkan dengan terbitnya Keputusan Gubernur (Kepgub) Jawa Barat Nomor 463 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah. Dalam aturan tersebut, khususnya pada PAPS PA2 huruf C, dinyatakan bahwa calon peserta didik dapat ditempatkan dalam satuan pendidikan dengan jumlah maksimal 50 siswa per kelas.

Kebijakan ini langsung menuai kritik, salah satunya datang dari Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Sukabumi Asep Deni. Ia menyebut kebijakan tersebut tidak hanya kontroversial, tetapi juga berpotensi menimbulkan efek domino negatif terhadap kualitas pendidikan dan keberlangsungan sekolah swasta.

Menurutnya, Kepgub tersebut bertentangan secara langsung dengan dua regulasi nasional yang masih berlaku, yaitu Permendikbudristek No. 22 Tahun 2023 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah, khususnya Pasal 12 Ayat 2 Huruf A. Aturan ini menetapkan bahwa rasio luas ruang kelas minimal adalah 2 meter persegi per peserta didik.

“Kalau kita lihat dari standar ini, dengan ruang kelas ukuran 8×9 meter (72 meter persegi), maka idealnya hanya boleh diisi 36 siswa. Jadi jelas, angka 50 siswa per kelas yang tertuang dalam Kepgub ini tidak sesuai standar nasional,” tegasnya.

Permendikbudristek No. 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan pada jenjang PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah, khususnya Pasal 8 Ayat 6 Huruf B yang mengatur kelayakan sarana dan prasarana pendidikan.

“Mayoritas sekolah, baik negeri maupun swasta, tidak memiliki ruang kelas yang memadai untuk menampung 50 siswa sekaligus. Apalagi kalau melihat rata-rata sekolah hanya memiliki 9-10 ruang kelas per angkatan. Bayangkan, jika dipaksakan 50 siswa per kelas, maka satu sekolah harus menampung 450 siswa per angkatan. Itu tidak realistis,” jelasnya.

Asep Deni juga menyoroti dampak terhadap efektivitas pembelajaran jika kebijakan ini terus dilanjutkan. Menurutnya, proses belajar dengan 50 siswa di kelas ukuran 72 meter persegi jelas tidak akan efektif. Bukan hanya peserta didik yang akan kesulitan memahami pelajaran, tapi juga guru akan kesulitan dalam mengelola kelas. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal kualitas.
Ia menambahkan bahwa kebijakan ini secara tidak langsung semakin meminggirkan peran sekolah swasta.

“Kalau semua siswa diarahkan masuk ke sekolah negeri, maka sekolah swasta akan kehilangan peserta didik. Padahal banyak sekolah swasta yang sudah sangat berkualitas, bahkan tidak sedikit yang gratis atau menawarkan biaya terjangkau,” jelasnya.

Ia menyebut bahwa stigma “mahal” pada sekolah swasta tidak selalu benar. Berdasarkan data sekolah terbaik di Jawa Barat, dari 10 besar, 8 di antaranya adalah sekolah swasta. Artinya, kualitas sekolah swasta tidak kalah, bahkan bisa lebih baik dari negeri.

“Sekarang sistem akreditasi pun tidak lagi membedakan negeri dan swasta. Jadi parameter kualitas sudah setara. Maka mengapa kebijakan tidak juga afirmatif pada sekolah swasta?” tanyanya.

Selain peserta didik dan sekolah, guru juga menjadi pihak yang paling terdampak dari kebijakan ini. Jika siswa diserap semua oleh sekolah negeri, maka sekolah swasta akan kekurangan murid dan guru pun kehilangan jam mengajar.

“Guru yang sudah tersertifikasi wajib memenuhi jam mengajar tertentu agar sertifikasinya dibayarkan. Kalau kekurangan jam karena kekurangan siswa, maka tunjangan mereka bisa tidak cair. Ini bisa jadi masalah sosial baru,” lanjutnya.

Dengan minimnya siswa, Asep Deni menyebut bahwa tidak sedikit sekolah swasta yang kini berada di ujung tanduk.

“Kalau dibiarkan, banyak sekolah swasta terancam tutup. Bukan karena mereka tidak berkualitas, tapi karena kebijakan yang tidak berpihak. Ini jelas merugikan dunia pendidikan secara keseluruhan,” ujarnya.

Ia juga mengkritik perlakuan berbeda antara sekolah negeri dan swasta dalam hal pendanaan.

“Andai saja sekolah swasta juga mendapat dukungan anggaran seperti negeri, pasti kita bisa lebih maksimal membantu pemerintah dalam mencegah anak putus sekolah. Jangan pernah bedakan negeri dan swasta dalam hal pelayanan pendidikan,” serunya.

BMPS Kota Sukabumi berharap kebijakan PAPS dapat dikaji ulang secara matang dengan mengedepankan kolaborasi antara pemerintah dan penyelenggara pendidikan swasta.

“Kuncinya adalah sinergi. Kolaborasi antara Pemda dan sekolah swasta akan jauh lebih efektif dalam mencegah anak putus sekolah. Jangan hanya fokus pada penyerapan di sekolah negeri. Sekolah swasta adalah mitra, bukan kompetitor,” jelasnya.

Ia menegaskan, data pokok pendidikan (Dapodik) juga harus menjadi pertimbangan penting.

“Kalau sistem Dapodik tetap membatasi kuota maksimal 36 siswa, lalu bagaimana dengan siswa ke-37 dan seterusnya? Mereka tidak punya Nomor Induk Siswa Nasional (NISN). Itu yang harus dipikirkan matang sebelum membuat kebijakan,” tandasnya.

Saat ini, dari seluruh lulusan SMP di Kota Sukabumi yang melanjutkan ke jenjang SMA, hanya tersisa 157 siswa yang masuk ke sekolah swasta. Jumlah ini sangat kecil, dan tidak proporsional jika dibandingkan dengan daya tampung sekolah swasta yang tersedia. Dikatakannya, kebijakan penambahan kapasitas siswa menjadi 50 per kelas, yang niat awalnya untuk menekan angka putus sekolah, justru berpotensi menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Dari kualitas pendidikan yang menurun, hak guru yang terabaikan, hingga ancaman gulung tikar bagi sekolah swasta. Asep Deni menyerukan evaluasi total kebijakan ini dan mendorong sinergi aktif antara pemerintah dan lembaga pendidikan swasta demi masa depan pendidikan yang lebih merata, adil, dan berkualitas.

“Kalau terus seperti ini, eksistensi sekolah swasta akan runtuh. Padahal mereka punya peran besar dalam pendidikan bangsa,” pungkasnya.(wdy)

Read Entire Article
Information | Sukabumi |