Nicke: Saatnya Pustakawan Unjuk Gigi
Tanggal 7 Juli 2025 menjadi momen istimewa bagi para pustakawan di seluruh Indonesia. Pemerintah resmi menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pustakawan Nasional, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) ke-52. Sebuah pengakuan negara yang telah lama dinantikan oleh profesi yang kerap dipandang sebelah mata ini.
Widi Fitria — SUKABUMI
Di Kota Sukabumi, semangat ini terasa hangat di hati Nicke Siti Rahayu, Ketua Pengurus Daerah IPI Kota Sukabumi periode 2023–2026. Nicke bukan orang baru di dunia literasi. Ia telah melalui perjalanan panjang sejak era perpustakaan Kota dan Kabupaten Sukabumi masih digabung pada tahun 1990-an. Kini, sebagai pemimpin organisasi pustakawan lokal, ia bertekad mengangkat martabat pustakawan di mata masyarakat.
“Selama ini pustakawan sering dianggap hanya duduk menunggu buku. Padahal, pustakawan itu jantungnya perpustakaan. Kita yang pertama membaca buku sebelum disajikan ke masyarakat,” ujar Nicke.
Ia mengungkapkan, pengakuan resmi dari pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini menjadi suntikan semangat baru. Bukan hanya validasi, tapi panggilan untuk para pustakawan agar terus tumbuh, berinovasi, dan berani tampil di ruang digital.
Zaman telah berubah. Buku bukan satu-satunya sumber informasi. Dunia kini digenggam melalui layar. Tapi Nicke melihat ini bukan ancaman, justru peluang.
“Sekarang informasi bisa didapat dari digital. Maka pustakawan juga harus hadir di sana. Tulis konten, hadir di media sosial, kenalkan perpustakaan secara digital. Kita harus adaptif,” tuturnya.
Ia mendorong pustakawan untuk aktif menulis, menyebarkan informasi berkualitas, dan menunjukkan bahwa perpustakaan bukan tempat sunyi dan sepi. Tapi pusat ide, transformasi ilmu, dan ruang dialog masyarakat.Dalam pandangan Nicke, pustakawan bukan sekadar pengelola koleksi, melainkan agen perubahan literasi. Ia menyebut pustakawan sebagai “transformer ilmu” — menggali informasi dari buku dan sumber digital, lalu mengemasnya untuk mudah dipahami masyarakat.
“Kalau ingin dihargai, kita sebagai pustakawan harus menghargai diri sendiri dulu. Bekal kita adalah ilmu dan keikhlasan untuk melayani. Kalau kita serius bekerja untuk mencerdaskan bangsa, maka orang akan melihat dan menghargai,” tegasnya.
Di Kota Sukabumi, meski jumlah pustakawan masih terbatas — baru tujuh orang — Nicke optimistis. Ia mengajukan formasi hingga 350 calon pustakawan untuk ditempatkan di berbagai lembaga, mulai dari sekolah, kelurahan, hingga kecamatan. Bahkan, formasi jabatan fungsional pustakawan dari Kementerian PANRB kini sudah tersedia untuk Kota Sukabumi.
Nicke percaya bahwa literasi tidak bisa ditumbuhkan sendiri-sendiri. Harus ada Gerakan Bersama — melibatkan sekolah, komunitas, instansi pemerintah, hingga masyarakat umum.
Program “1 Desa 1000 Buku” dari Perpustakaan Nasional menjadi langkah konkret yang ia apresiasi. Tapi, gerakan ini harus dibarengi dengan kesadaran dan kerja sama semua pihak untuk menghidupkan budaya membaca.
“Kita harus kolaborasi. dinas pendidikan, Kemenag, komunitas literasi — semua harus bergerak serempak. Kalau kita satu gerakan, indeks kegemaran membaca pasti meningkat,” ujarnya penuh harap.
Hari Pustakawan Nasional bukan sekadar seremoni. Ini panggilan untuk bangkit. Menurut Nicke, pustakawan harus sejajar dengan profesi pendidik lain. Ia membayangkan peran pustakawan sebagai ahli literasi budaya baca, bukan hanya “penjaga rak buku”.
“Jangan pernah berkecil hati jika ditempatkan di perpustakaan. Justru di sanalah kalian bisa mencerdaskan masyarakat. Jadilah pustakawan yang percaya diri, profesional, dan terus belajar,” pungkasnya. (*)