Penulis:
Irawan Danismaya
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Sukabumi
“ Aku sedih, aku sedih banget,..aku sediiih banget “ …. adalah kalimat viral dari ungkapan hati seseorang yang menghadapi kesedihan mendalam dalam kehidupannya. Namun yang terjadi kemudian justru bukan mengundang simpati, tetapi malah dirujak oleh netizen melalui komen dan meme atau video editan. Penulis memang tidak memahami secara baik situasi yang sebenarnya terjadi, tapi bukan itu yang menjadi topik ulasan di kolom opini ini. Aspek psikologi sosial-lah yang menarik untuk dikupas untuk memahami kenapa respon publik malah berbalik menyerang tokoh tersebut. David Myers (2012) mendefinisikan psikologi sosial (publik) adalah cara orang berpikir tentang sesuatu dan apa yang mempengaruhi pikirannya yang berkaitan dengan hubungannya dengan orang lain.
Cara seseorang (publik) berpikir, menilai dan mempersepsikan apa yang dia lihat tentang orang lain di media sosial, semuanya berawal dari mind’s eye. Apa yang terlihat pertama kali oleh mata akan membentuk kesan pertama. Dan jika berulang kali dia melihat hal yang sama, maka kemudian terciptalah “label” atau “karakter” orang lain yang dia persepsikan di otaknya. Publik memang banyak disuguhi tontonan yang memperlihatkan arogansi, kesombongan dan sikap mau menang sendiri dengan cara menyerang atau merendahkan orang lain. Akibat buruk selanjutnya adalah publik menjadi semakin penasaran dan sengaja mencari momen-momen lain tentang kepribadian tokoh di cerita awal. Ahirnya terbentuklah karakter tokoh itu menjadi seseorang yang dilabel negative oleh netizen. Fenomena ini juga menimpa pada seorang Wamen baru yang mendapatkan 50.000 tanda tangan netizen yang menuntut pencopotan jabatan dirinya.
Kesan pertama akan menciptakan persepsi, lalu persepsi yang dipertahankan akan membentuk “label/Merk” atau “personal branding“ di mata orang lain dan publik. Merk pribadi yang buruk akan melahirkan ketidakpercayaan orang lain terhadap seseorang. Sekuat apapun usaha seseorang untuk memperbaiki citra dirinya, itu akan sia-sia saja jika publik sudah terlanjur menyimpan memori buruk tentang dia. Meski mungkin seiring waktu cerita buruk itu menghilang dari pemberitaan, tetapi bisa dipastikan publik akan dengan mudah mengingat kembali kejadian yang telah mengendap dalam pikirannya.
Merk pribadi / Personal Branding dalam ilmu psikologi sosial ini disebut Ciri Kardinal. Gordon Allport (1954) seorang psikolog menjelaskan bahwa Ciri Kardinal adalah ciri yang mendominasi seluruh kepribadian seseorang. Contohnya yaitu sifat jujur Nabi Muhammad SAW sangat dikenal oleh umat muslim dan di kalangan warga Arab pada awal tugas ke-Rasulannya. Contoh lain adalah Albert Einstein yang dikenal karena kecerdasannya. Sifat-sifat merk personal itu begitu kuat sehingga nama seseorang jadi hampir identik dengan sifat itu dan sulit dilepaskan. Jadi Ciri Kardinal ini sangat langka ditemukan pada kebanyakan orang. Karena pada kenyataannya, semua orang memiliki campuran dari berbagai sifat dan karakteristik. Meskipun seseorang mungkin dikenal karena kualitas tertentu, tetapi perlu diingat bahwa ada banyak aspek yang membentuk kepribadian unik setiap orang, seperti latar belakang pola asuh di keluarga, lingkungan tempat hidup dan interaksi sosial sehari-hari.
Cara terbaik agar kita tidak mendapat merk buruk dari orang lain, yang pertama adalah dengan senantiasa menjaga ucapan, sikap dan cara kita dalam memperlakukan orang lain. Perlakukan orang lain dengan benar, maka Inshaallah kebaikan akan selalu menghampiri kita. Umat Muslim di perintahkan Allah SWT untuk selalu menjauhi sifat sombong. Dalam Surah An-Nisa (4): 36 disebutkan, ….. “ Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” Ayat ini menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak orang lain, terutama mereka yang berada di sekitar kita, seperti keluarga, tetangga, dan kaum lemah. Berbuat baik kepada mereka adalah wujud nyata dari ihtiar menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama manusia.
Cara kedua adalah menjauhkan diri dari sikap stereotip kepada orang lain, yaitu sikap yang menggeneralisasikan persepsi kita tentang orang lain atas dasar penilaian dari kelompoknya. Maknanya adalah kita tidak boleh menilai seseorang berdasarkan suku, agama atau kelompoknya. Yang sering dicontohkan adalah jangan pernah merasa lebih baik atau lebih shaleh dari mereka yang sehari-hari hidup di jalanan yang mengamen dengan tubuh penuh tato. Juga tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan sebelum kita melihat lebih dekat dan lebih tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Lebih baik ber-Tabayyun terlebih dahulu atau don’t judge the book by the cover. Jangan menilai orang lain dari luarnya saja.
Sebagai uraian penutup, dapat disimpulkan bahwa bertahan atau jatuhnya kehormatan seseorang akan bergantung pada cara berperilakunya sendiri. Menghargai orang lain adalah kunci utama untuk membangun hubungan yang sehat dan mencegah persepsi buruk dari masyarakat. Dengan memperhatikan tindakan dan sikap terhadap sesama, seseorang dapat terhindar dari hukuman sosial yang merugikan dirinya. Kegagalan untuk menghargai orang lain dapat menimbulkan berbagai bentuk hukuman sosial yang merugikan sendiri, seperti penolakan, isolasi, atau kehilangan reputasi. Wallahu a’lam bishawab. (***)