TTS – Pengakuan dan perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat adat kembali mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Melalui Sosialisasi Pengadministrasian dan Pendaftaran Tanah Ulayat yang digelar di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, Kamis (18/9/2025), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan komitmennya untuk menghadirkan tata kelola pertanahan yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi komunitas adat.
Staf Ahli Bidang Reformasi Birokrasi Kementerian ATR/BPN, Deni Santo, menegaskan bahwa institusi pertanahan negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi hak masyarakat hukum adat.
“Kementerian ATR/BPN sebagai institusi yang mengurus tanah dan ruang harus menjadi motor penggerak dalam memberikan perlindungan bagi masyarakat hukum adat sesuai amanat konstitusi,” ujar Deni Santo dalam sambutannya dikutip Radar Sukabumi pada halaman resmi website Kementerian ATR/BPN.
Sosialisasi di TTS bukanlah kegiatan tunggal. Pada hari yang sama, kegiatan serupa juga berlangsung di Sumba Timur dan Manggarai Timur. Hal ini, kata Deni, menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam menata ulang hak ulayat sebagai bagian penting dari pembangunan nasional yang inklusif.
Di Desa Boti, TTS, hasil identifikasi awal menunjukkan keberadaan tanah ulayat seluas kurang lebih 293 hektare. Tahapan berikutnya meliputi penetapan batas, persetujuan bersama antar pihak, hingga proses pengukuran dan pemetaan.
“Nanti kita akan lakukan pengukuran, pemetaan, lalu menerbitkan peta bidangnya. Proses kelanjutan itu akan membuka jalan menuju kepastian hukum bagi masyarakat adat,” jelas Deni.
Bupati Timor Tengah Selatan, Eduard Markus Lioe, menyampaikan bahwa Suku Boti dipilih sebagai target kegiatan pengadministrasian dan penyertipikatan tanah ulayat karena masih mempertahankan kehidupan adat yang eksis tanpa bertentangan dengan kepentingan nasional maupun peraturan perundang-undangan.
“Dengan terlaksananya kegiatan ini, diharapkan dapat membawa cahaya baru dalam menyelesaikan persoalan-persoalan terkait tanah ulayat atau tanah suku. Saya ingatkan juga agar masyarakat hukum adat dapat memanfaatkan tanahnya sesuai kaidah adat, sambil menjaga alam demi peningkatan kesejahteraan,” kata Eduard.
Suku Boti, yang selama ini dikenal sebagai salah satu komunitas adat yang masih teguh menjaga tradisi, kini mendapatkan ruang formal dari negara untuk melindungi hak atas tanah mereka.
Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan, Kementerian ATR/BPN juga menyerahkan lima sertipikat tanah hasil Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kepada masyarakat. Penyerahan dilakukan secara simbolis oleh Deni Santo bersama Bupati TTS.
Langkah ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk bagi masyarakat adat untuk menikmati kepastian hukum atas tanah yang mereka kelola secara turun-temurun.
Kegiatan sosialisasi di TTS turut dihadiri pejabat administrator Kanwil BPN Provinsi NTT, serta unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) NTT. Kehadiran berbagai pihak ini menunjukkan bahwa penyelesaian persoalan tanah ulayat tidak bisa dilepaskan dari dukungan lintas sektor, baik pemerintah pusat, daerah, maupun masyarakat adat itu sendiri.
Program ini juga menjadi bagian dari Integrated Land Administration and Spatial Planning Project (ILASPP), kerja sama antara Kementerian ATR/BPN dengan Bank Dunia untuk memperkuat tata kelola pertanahan yang inklusif dan berorientasi jangka panjang.
Sosialisasi tanah ulayat di TTS hanyalah permulaan dari perjalanan panjang menuju kepastian hukum bagi masyarakat adat. Namun, langkah ini dinilai penting untuk menghindari konflik agraria, mengurangi kerentanan masyarakat adat dari klaim pihak lain, sekaligus memperkuat fondasi pembangunan ekonomi lokal berbasis kearifan tradisional.
Dengan melibatkan komunitas adat dalam tata ruang, pemerintah berupaya memastikan bahwa pembangunan tidak hanya berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan sosial dan kelestarian lingkungan, pungkasnya. (Den)