SUKABUMI — Puluhan Siswa dan Siswi dari sekolah Yayasan Raudhatul Athfal Miftahul Barokah di Kampung Gempol, Desa Cikadu, Kecamatan Palabuhanratu, Sukabumi harus belajar didalam tenda.
Kondisi ini memaksa para guru untuk proses belajar mengajar dilaksanakan di dalam tenda, menyusul sekolah yang selama ini menjadi mereka terdampak bencana alam pergerakan tanah mengakibatkan kondisi bangunan rusak dan rawan ambruk.
Lela Helmiah salah seorang guru mengatakan, terpaksa selama satu pekan mengadakan kegiatan belajar mengajar secara darurat yakni di tenda darurat, mengingat sekolahnya yang selama ini ditempati terkena pergerakan tanah mengakibatkan sebagian dari lantai bangunan amblas.
“Iya sudah mencapai satu minggu, waktu peristiwa amblas lantai terjadi kita istirahat dulu, anak anak disuruh istirahat, karena takut terjadi hal hal yang tidak diinginkan, bahkan sekarang juga kalau memang misalnya kita mau sekolah di tempat yang biasa kita gunakan, itu di tidak bolehkan karena takut sudah hancur,” ujar Lela saat diwawancara belum lama ini. Minggu, (12/1/2025).
Lanjut Lela Helmiah, terpaksa belajar di tenda darurat meski dengan perasaan ada gerah, capai karena harus bolak balik mengajar siswa siswi lainnya yang berbeda tenda, dan juga jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
“Iya harus bolak balik juga, kita tinggalnya di Sampora, dulu kan satu yayasan rumah juga disitu, pondok pesantren juga mengajar, sekarang tidur di sana, sekolah disini, jadi pagi pagi harus ke sini siap siap, mungkin lebih capai, karena dari pagi sampai sore disini, soalnya ada beberapa kelas di satukan dalam satu tenda,” jelasnya.
“Mudah mudahan segera mungkin lebih cepat, inginnya lebih cepat ada bangunan baru untuk sekolah anak anak, pondok pesantren putra putri, ada lembaga RA, MDTA, MTS juga,” imbuhnya.
Ditambahkan guru lain, Yusnandi para siswa dan siswi Yayasan Raudhatul Athfal Miftahul Barokah mulai melaksanakan kegiatan belajar mengajar di tenda darurat tersebut sejak tanggal 6 Januari 2025 lalu, setelah kondisi bangunan sekolah hancur sejak 4 Desember 2024 lalu terdampak bencana pergerakan tanah.
“Seharinya ada 30 sampai 40 siswa dan siswi belajar di tenda, tapi tergantung kondisinya, jika hujan atau karena orang tua mereka mengontrak rumah agak jauh terpaksa belajar daring,” timpalnya singkat.
Diwawancara terpisah salah seorang siswi Siti Maria mengutarakan kegelisahan dan kesedihannya sesaat melaksanakan belajar didalam tenda darurat, dimana saat cuaca panas merasakan gerah, dan jika hujan di dalam tenda becek.
“Harapannya pengennya cepat pulih, pengen kembali ke sekolah, biar bisa belajar duduk dibangku lagi, biar lengkap lagi, soalnya kalau disini kurang lengkap fasilitas dan materi belajarnya,” ungkapnya.
“Kemarin kan pernah hujan, lagi belajar disini gak enak becek, kalau panas gini gerah, sempit juga kan, karena satu ruang disini tiga kelas. Saya sekarang tinggal di Buniwangi, tinggal disini karena mondok di sekolah, pondok pesantrennya juga kena dampak,” tandasnya. (ndi/d)