Pesawahan di Desa Padabeunghar Sukabumi Krisis Air,  50 Hektare Lahan Lima Tahun  Terlantar

1 week ago 20

JAMPANGTENGAH – Sedikitnya 50 hektare lahan pertanian padi di Kedusunan Leuwipendeuy dan Kedusunan Padabeunghar, Desa Padabeunghar, Kecamatan Jampangtengah, Kabupaten Sukabumi, terlantar selama lima tahun terakhir.

Kondisi ini terjadi akibat kerusakan Irigasi Jentreng yang seharusnya mengairi lahan pertanian di wilayah tersebut.

Irigasi Jentreng yang terletak di Kampung Sarimin, Kedusunan Leuwipendeuy, mengalami kerusakan parah setelah diterjang banjir bandang dari Sungai Cimandiri lima tahun lalu. Kerusakan tersebut membuat pasokan air ke area persawahan terhenti total.

Tokoh masyarakat Desa Padabeunghar, Asep Kamho (52) kepada Radar Sukabumi menjelaskan, bahwa irigasi sepanjang 500 meter dengan lebar sekitar 2 meter dan tinggi 5 meter itu, jebol setelah tergerus derasnya arus banjir bandang. “Sudah lima tahun sawah-sawah tidak bisa digarap karena tidak ada aliran air. Petani hanya bisa pasrah,” kata Asep kepada Radar Sukabumi pada Senin (19/05).

Tak hanya merusak saluran irigasi, sambung Asep, banjir bandang juga menggerus lahan milik warga di Leuwipendeuy seluas sekitar dua hektare, sehingga menambah kerugian yang dialami petani.

Kini, warga bersama para petani dan kelompok tani mulai bergerak untuk mencari solusi. Musyawarah telah digelar dan sebuah panitia telah dibentuk guna merencanakan pembangunan kembali saluran irigasi yang rusak. Namun, keterbatasan dana masih menjadi kendala utama dalam merealisasikan rencana tersebut.

“Alhamdullilah, saya sendiri mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, khususnya dari para petani. Iya, saya ditunjuk sebagai Ketua Panitia pembuatan irigasi itu. Masyarakat berharap ada perhatian dari pemerintah daerah maupun pihak terkait agar perbaikan irigasi bisa segera dilakukan dan lahan pertanian kembali produktif,” timpalnya.

Masih ditempat yang sama, salah seorang petani asal Kampung Padabeunghar, RT 04/RW 01, Sunarto (49) mengaku pasrah dengan kondisi tersebut. “Irigasi gak ada, air gak ada. Kalau ada benih jagung ya tanam jagung, kalau gak ada ya dibiarkan saja tanahnya. Sekarang lahannya banyak ditumbuhi rumput, karena terpantar,” kata Sunarto.

Sunarto mengungkapkan, bahwa ia memiliki lahan seluas sekitar 1.600 meter persegi atau empat patok. “Kalau irigasi normal, bisa panen sekitar 9 kwintal hingga 1 ton padi basah dalam satu musim. Tapi sekarang, cuma mengandalkan air hujan. Kerugiannya bisa sampai Rp4,5 juta per musim. Padahal, dalam setahun bisa tiga kali tanam kalau airnya cukup,” tambahnya.

Para petani sebenarnya telah beberapa kali berupaya memperbaiki irigasi secara swadaya melalui kelompok tani. Namun, keterbatasan dana dan tenaga membuat perbaikan hanya bersifat sementara dan tidak mampu mengembalikan fungsi irigasi seperti semula.

“Kita sering diskusi di kelompok tani, pernah juga gotong royong, udunan, tapi ya hasilnya tidak maksimal. Pembangunan irigasi butuh anggaran besar. Harapannya, semoga ada perhatian dan bantuan dari pemerintah. Yang dibutuhkan petani sekarang hanya satu adalah air,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Desa Padabeunghar, Ence Rohendi kepada Radar Sukabumi menjelaskan, bahwa kerusakan irigasi tersebut sudah terjadi bahkan sebelum dirinya menjabat sebagai kepala desa.

“Kejadian itu sudah lama, mungkin sebelum saya menjabat. Kerusakannya sudah parah sekitar lima tahun terakhir. Irigasi ini sangat vital, bukan hanya untuk sawah, tapi juga kolam ikan dan kebutuhan rumah tangga seperti mencuci di dua kedusunan, yaitu di Kedusunan Leuwipendeuy dan Kedusunan Padabeunghar,” kata Ence.

Dampaknya sangat dirasakan oleh warga di empat kampung yang sebelumnya mengandalkan irigasi tersebut, yakni Kampung Padabeunghar, Lembur Jati, Lembur Tengah, dan Kampung Kosambi. Sebagian besar sawah kini hanya bisa digarap saat musim hujan, dari yang biasanya panen tiga kali dalam setahun, kini hanya satu kali panen atau bahkan tidak sama sekali.

“Banyak lahan yang akhirnya terlantar. Para petani beralih ke tanaman yang tidak membutuhkan banyak air seperti jagung, kedelai, ubi jalar, cabai, dan tanaman palawija lainnya,” jelasnya.

Pemerintah desa, kata Ence, telah berupaya menyampaikan kondisi tersebut kepada dinas-dinas terkait, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Namun karena Sungai Cimandiri masuk dalam kewenangan PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Air) Provinsi Jawa Barat, maka proses penanganannya pun masih belum menunjukkan hasil signifikan.

“Kami sudah beberapa kali ajukan proposal dan survei. Saya juga sudah bentuk panitia bersama tokoh masyarakat, pemuda, dan petani untuk fokus menangani masalah irigasi ini. Harapannya, semoga ada bantuan dari pihak manapun,” paparnya.

Warga sebenarnya sudah beberapa kali mencoba membangun saluran secara swadaya, seperti menggunakan drum dan bahan seadanya. Namun upaya tersebut tidak bertahan lama karena kondisi tanah yang rawan longsor dan cuaca ekstrem.

“Tanahnya tidak memiliki terasering. Anggaran pembangunan irigasi itu diperkirakan mencapai Rp2,5 miliar, termasuk pembangunan pemisah arus Sungai Cimandiri agar tidak terus menggerus lahan warga di Padabeunghar,” bebernya.

Ia berharap agar pemerintah provinsi maupun pusat dapat turun tangan, sehingga masyarakat Padabeunghar bisa kembali menanam padi tiga kali setahun seperti dulu. “Sekarang paling setahun sekali, itu pun tergantung musim hujan. Kalau kemarau, lahan dibiarkan begitu saja,” pungkasnya. (Den)

Read Entire Article
Information | Sukabumi |