Profesor Asli Kota Sukabumi Ini Dikukuhkan Jadi Guru Besar UPI, Soroti Diskusi AI dan Budaya Viralitas dalam Pendidikan Desain

1 week ago 24

SUKABUMI – Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengukuhkan Prof. Nanang Ganda Prawira sebagai Guru Besar dalam bidang Kajian Budaya Visual dan Estetika Desain pada Fakultas Pendidikan Seni dan Desain (FPSD), dalam sebuah upacara akademik yang khidmat dan penuh makna.

Pengukuhan putra asli Kota Sukabumi ini bukan hanya menjadi momen akademik semata, tetapi juga wadah refleksi atas perubahan mendalam yang terjadi dalam dunia visual, pendidikan, dan teknologi.

Prof. Nanang telah menjalani perjalanan panjang sebagai seniman, dosen, peneliti, dan penulis. Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Budaya Visual Era Media Sosial, Rivalitas Viralitas, dan Disrupsi Artificial Intelligence (AI): Tantangan dan Masa Depan Pendidikan Desain Komunikasi Visual”, ia mengajak audiens untuk melihat lebih jernih dinamika dunia desain di tengah perkembangan teknologi digital dan sosial media.

Berangkat dari pengamatannya terhadap transformasi budaya komunikasi visual dalam masyarakat digital, Prof. Nanang menekankan bahwa saat ini media sosial menjadi ruang dominan bagi distribusi visual.

Dalam ekosistem digital yang sangat kompetitif, konten visual bersaing untuk mendapatkan perhatian, didukung oleh algoritma yang memprioritaskan keterlibatan pengguna.

Fenomena ini, yang ia sebut sebagai “rivalitas viralitas”, menunjukkan betapa besar pengaruh media sosial dalam membentuk selera visual dan pola konsumsi estetika di masyarakat.

Dalam pandangannya, ini bukanlah persoalan benar atau salah, melainkan bagian dari perubahan zaman yang perlu dipahami secara kritis dan adaptif oleh semua pihak.

Dinamika Kreativitas di Era Media Sosial dan Kecerdasan Buatan

Perubahan pola konsumsi visual juga membawa tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan desain.

Prof. Nanang mencatat bahwa dalam situasi seperti ini, banyak mahasiswa dan kreator visual yang berusaha menyesuaikan diri dengan selera dan ritme media sosial.

Pilihan tersebut adalah bentuk adaptasi terhadap ekosistem yang berkembang cepat dan menuntut respons yang lincah.

Dalam pidatonya, Prof. Nanang tidak menilai pilihan tersebut sebagai kekeliruan, tetapi justru menekankan pentingnya pendekatan yang seimbang antara memenuhi kebutuhan pasar digital dan menjaga proses eksplorasi kreatif yang reflektif.

Ia menyoroti bagaimana algoritma digital memiliki kecenderungan untuk memperkuat pola visual tertentu yang dinilai menarik bagi banyak orang.

Dalam jangka panjang, ini dapat menciptakan homogenisasi estetika yang mengurangi keragaman ekspresi visual. Oleh karena itu, pendidikan desain perlu memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi identitas kreatif mereka, sambil tetap memahami konteks sosial, budaya, dan digital tempat mereka berkarya.

Dengan kata lain, pendidikan desain harus mampu mendampingi mahasiswa untuk menjembatani antara tuntutan ekosistem digital dan proses kreatif yang otentik.

Selain itu, hadirnya teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia desain membawa dimensi baru dalam produksi visual. Teknologi seperti DALL-E, MidJourney, atau Stable Diffusion memungkinkan terciptanya karya visual dari deskripsi teks, memberikan kemudahan bagi siapa pun untuk berpartisipasi dalam proses kreatif.

Prof. Nanang melihat fenomena ini sebagai peluang sekaligus tantangan. Peluang karena AI membuka akses yang lebih luas terhadap kreasi visual; tantangan karena ia mendorong kita untuk mempertanyakan kembali peran manusia dalam proses desain, serta bagaimana menjaga nilai-nilai keaslian, etika, dan pemaknaan di dalamnya.

Menurut Prof. Nanang, penting bagi institusi pendidikan untuk membekali mahasiswa dengan literasi teknologi, termasuk pemahaman kritis terhadap AI dan dampaknya.

Isu-isu seperti hak cipta, bias data, dan tanggung jawab sosial kreator digital menjadi aspek penting yang harus dihadirkan dalam proses pembelajaran.

Dengan demikian, teknologi tidak menjadi penghalang kreativitas manusia, melainkan menjadi mitra yang dapat memperluas cakrawala desain.

Pendidikan Desain yang Adaptif, Etis, dan Berorientasi Nilai

Prof. Nanang menyampaikan bahwa semua perubahan ini menuntut adanya penyegaran dalam model pendidikan desain komunikasi visual.

Menurutnya, pendidikan desain ke depan harus mampu mengintegrasikan pendekatan multidisipliner yang tidak hanya menekankan keterampilan teknis, tetapi juga pemikiran konseptual, pemahaman budaya, dan tanggung jawab sosial.

Ia mengusulkan agar mahasiswa dilibatkan dalam proyek-proyek riil yang berdampak pada masyarakat, serta diajak bekerja lintas bidang untuk memperluas cara pandang mereka terhadap peran desain.

Metode pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran kolaboratif, dan pendekatan transdisipliner menjadi contoh strategi yang disebut Prof. Nanang sebagai bentuk respons terhadap dinamika zaman.

Ia juga menekankan pentingnya membangun ruang pembelajaran yang inklusif, di mana mahasiswa merasa aman untuk bereksperimen, menyampaikan ide, dan menemukan jati diri kreatif mereka tanpa tekanan untuk sekadar mengikuti tren sesaat.

Dalam semangat kolaboratif itu pula, beliau menegaskan bahwa proses belajar-mengajar harus menjadi perjalanan dua arah. Mahasiswa, dosen, teknologi, dan masyarakat adalah bagian dari ekosistem yang saling terhubung.

Oleh karena itu, orientasi pembelajaran desain tidak hanya tentang menghasilkan karya yang “menarik”, tetapi juga karya yang bermakna, relevan secara sosial, dan etis dalam prosesnya.

Mengakhiri orasi ilmiahnya, Prof. Nanang menyampaikan rasa syukur mendalam atas perjalanan akademiknya yang ia sebut sebagai “karunia Ilahi yang disertai dengan bimbingan banyak tangan baik”.

Ia menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukungnya, mulai dari para guru dan dosen pembimbing, rekan sejawat, keluarga tercinta, hingga mahasiswa yang telah menjadi bagian penting dari refleksi dan pertumbuhan intelektualnya. Ia percaya bahwa dalam dunia yang terus berubah, peran pendidikan bukan hanya menjaga pengetahuan, tetapi juga mengarahkan nilai, membangun karakter, dan menghidupkan kembali makna dalam visualitas kita sehari-hari.

Dengan rendah hati, Prof. Nanang menutup orasinya dengan mengajak semua pihak untuk melihat perubahan sebagai peluang, bukan ancaman.

“Desainer masa depan adalah mereka yang mampu bekerja bersama teknologi, berpikir kritis dalam konteks sosialnya, dan terus menggali nilai kemanusiaan di balik setiap karya visual yang mereka ciptakan,” tuturnya.

Pengukuhan ini menjadi momen yang mengingatkan bahwa pendidikan tinggi bukan hanya tempat belajar keterampilan, tetapi juga tempat membentuk cara pandang, tanggung jawab, dan visi masa depan. (*/sri)

Read Entire Article
Information | Sukabumi |